Jumat, 13 Maret 2009

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM: PENDEKATAN TASAWUF

A. Pendahuluan
Upaya membangun teori pendidikan Islam harus ditopang oleh suatu paradigma yang mapan. Paradigma adalah istilah ilmiah yang secara umum dapat diartikan persepsi, asumsi, teori, kerangka acuan, atau kacamata yang digunakan untuk memandang dunia.[1] Pemikiran ini didasarkan kepada asumsi bahwa suatu disiplin ilmu tidak bernilai objektif apabila tidak didasarkan atas paradigma yang mapan berikut asumsi-asumsinya. Oleh karena itu, menelusuri paradigma yang dimulai dari konsep filosofis adalah langkah awal untuk membangun teori pendidikan Islam.
Paradigma Pendidikan Islam menurut Abd al-Rahman Salih Abd Allah, [2]harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis dalam Islam. Pemikiran yang berkembang terhadap pendidikan Islam terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menghendaki keterbukaan terhadap teori pendidikan non-Muslim dan berusaha mengadopsi konsep-konsep pendidikannya digabung dengan konsep pendidikan Islam. Kedua, kelompok yang berusaha mengangkat pesan ilahi ke dalam teori pendidikan Islam baik yang bersumber dari al-Quran, al-Sunnah, maupun penafsiran ulama terhadap kedua sumber tersebut.
Berdasarkan dua kelompok pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori pendidikan Islam dapat dibangun melalui empat pendekatan yaitu: (1) pendekatan pragmatik atau islamisasi pengetahuan; (2) pendekatan skriptualis; (3) pendekatan filosofis; (4) pendekatan tasawuf.
Pendekatan pragmatis adalah membangun teori pendidikan Islam dengan mengdopsi dan mentransformasikan kerangka teori pendidikan Barat untuk dilegalisasi dan dijustifikasi oleh nash al-Quran atau al-Sunnah. Pendekatan ini juga kemudian dikenal dengan istilah islamisasi pengetahuan. Islamisasi pengetahuan dapat diartikan sebagai upaya mengislamkan atau melakukan penyucian terhadap ilmu pengetahuan produk non-Muslim (Barat) yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak “khas Islami”.[3]
Tiga pendekatan lainnya, yaitu pendekatan skriptualis, pendekatan filosofis, dan pendekatan tasawuf lebih mengutamakan pengkajian dan pengembangan Pendidikan Islam berdasarkan sumber-sumber ajaran Islam. Pendekatan ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor (sebagai postulasi) yang digali dari al-nash. Konstruksi premis mayor ini dijadikan sebagai “kebenaran universal” yang dijadikan kerangka acuan penggalian premis minornya.[4] Sedangkan Muhaimin, menyebut pendekatan idealistik sebagai Model Neo-Modernis yaitu berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-sunnah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[5] Dari pendekatan idealistik ini lahirlah teori pendidikan Islam.
Berbeda dengan pendekatan pragmatik, tiga pendekatan tersebut lebih menggunakan tiga acuan sumber pengetahuan yaitu wahyu, burhan (akal), dan intuisi (irfan).[6] Dalam persfektif tafsir, pendekatan skriptualis identik dengan aliran manqul , pendekatan falsafi identik dengan ma’qul, dan pendekatan tasawuf identik dengan isyari.

B. Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam seringkali dianggap identik dengan pendidikan agama Islam. Menurut Muhaimin,[7] mengutip pendapat Ahmad Tafsir, istilah pendidikan Islam secara substansial berbeda dengan istilah pendidikan agama Islam. Pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan Islami, yang memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok Muslim yang diidealkan. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teori-teorinya berdasarkan disusun berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. Sedangkan pendidikan agama Islam adalah kegiatan atau usaha untuk mendidikkan agama Islam.[8] Jadi, pendidikan agama Islam dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan Islam.
Pengertian pendidikan Islam yang bersinggungan dengan pendidikan agama Islam dapat dipahami dalam tiga persfektif sebagai berikut.[9]
Pendidikan Islam yang diartikan sebagai pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam, atau sistem pendidikan yang Islami. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang dibangun dan dikembangkan berdasarkan ajaran serta nilai-nilai fundamental yang terkandung baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah.
Pendidikan Islam diartikan sebagai Pendidikan Ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan Islam dapat berwujud aktivitas untuk membantu peserta didik sebagai upaya menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidup yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
Pendidikan Islam diartikan sebagai pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.

Berdasarkan pemahaman bahwa pendidikan agama Islam adalah upaya untuk mendidikkan agama Islam agar nilai-nilai agama Islam tertanam dan tumbuh dalam kehidupan sehari-hari, maka pendidikan agama Islam tampaknya lebih cenderung diartikan sebagai pembelajaran agama Islam, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat.
C. Pendekatan Tasawuf dalam Pendidikan Islam
Pendekatan yang digunakan dalam membangun teori pendidikan Islam, sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, dapat dilakukan yaitu melalui pendekatan pragmatik, skriptualis, filosofis, dan tasawuf. Pendekatan pragmatis atau islamisasi pengetahuan membutuhkan kajian yang luas didasarkan kepada pendapat Ismail Raji’ al-Faruqi. Pada makalah ini, yang akan dibahas adalah pendekatan skriptualis, filosofis, dan tasawuf.

1. Pendekatan Skriptualis
Pendekatan skriptualis secara ringkas dilakukan melalui pengkajian tentang pendidikan Islam didasarkan atas teks-teks al-Quran ataupun al-Hadits secara literal. Prosedur yang ditempuh melalui empat cara[10]yaitu: prosedur tematis atau maudhu’i; prosedur analisis atau tahlili; prosedur perbandingan atau muqarin; dan prosedur global atau ijmali.
Dalam aplikasinya, pendekatan ini memerlukan pengetahuan yang luas terutama berkaitan dengan ulum al-Quran dan ulum al-Hadits. Selain itu, juga harus didukung oleh pengetahuan bahasa Arab yang cukup. Karena melalui pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat membantu validitas penafsiran terhadap nash.

2. Pendekatan Filosofis
Pendekatan falsafi adalah pendekatan pengkajian pendidikan Islam yang didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif. Prosedur yang dimaksud mencakup berpikir yang sitemik, radikal, dan universal, yang ditopang oleh kekuatan akal. Pendekatan falsafi tidak berarti meninggalkan nash, tetapi tetap berpegang kepada nash, hanya saja cara cara memahaminya dengan cara mengambil makna esensial yang terkandung di dalam nash. Landasan berpikirnya adalah akal sehat berasal dari Allah, demikian juga nash. Karena itu, tidak mungkin nash bertentangan dengan akal. Jika terjadi perbedaan, boleh jadi hal itu karena akal yang belum mampu menangkap pesan esensial nash, atau diperlukan ta’wil (interpretasi filosofis) terhadap lafal dalam nash.

3. Pendekatan Tasawuf
Pendekatan tasawuf dalam pendidikan Islam didasarkan kepada prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-rasa (al-zawqiyah). Prosedur yang dimaksudkan adalah dengan cara menajamkan kalbu melalui proses tazkiyat al-nafs.[11] Sebagaimana pendekatan filosofis, pendekatan tasawuf juga tidak meninggalkan nash, tetapi memahami nash berdasarkan ta’wil bathini. Ta’wil bathini adalah pemahaman nash berdasarkan dibalik yang nyata.
Pendekatan tasawuf dalam pendidikan agama Islam didasarkan kepada tujuan tasawuf. Tujuan tasawuf adalah mengetahui segala aspek yang berkaitan dengan nafs, baik nafs yang mulia maupun nafs yang tercela. Kemudian melakukan upaya-upaya pembersihan nafs yang tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia sebagai jalan untuk menuju kepada Allah. Tasawuf memiliki tujuan yang mulia karena berkaitan dengan usaha untuk ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mahabbatullah (mencintai Allah).[12] Agar ia dapat mencapai tujuan tasawuf harus melalui tahap-tahap (madarij) tertentu. Tahap-tahap tersebut menurut ibnu Arabi[13] diawali dengan tazkiyat al-nafs
Tazkiyat al-nafs artinya menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti (sifat malaikat), sesudah membersihkannya dari sifat-sifat tercela dan hewaninya. Dengan kata lain, diri dibersihkan dari kotoran dan kerusakan, sehingga diperoleh jiwa yang suci atau al-nafs al-zakiyyah.

D. Al-Nafs al-Zakiyyah sebagai Tujuan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam, seharusnya kaya dengan muatan-muatan rohani yang mengarahkan jiwa peserta didik kepada Allah SWT, sehingga melahirkan manusia yang memiliki jiwa yang suci (al-nafs al-zakiyyah). Pendekatan tasawuf Sesuai dengan tujuannya, pada dasarnya adalah pendekatan yang digunakan dalam pendidikan agama Islam agar siswa memiliki jiwa yang sehat atau jiwa yang suci.
Banyaknya kasus penyimpangan perilaku di kalangan remaja termasuk siswa-siswa sekolah menunjukkan bahwa pembelajaran agama Islam di sekolah ternyata belum sanggup menghasilkan siswa-siswa yang memiliki jiwa yang suci atau al-nafs al-zakiyyah. Penyebabnya antara lain karena masyarakat termasuk kalangan pendidik belum sepenuhnya menyadari arti penting penanaman keimanan yang kuat melalui pendidikan, kebutuhan jiwa yang sehat, dan pentingnya praktik-praktik keagamaan sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Pembelajaran agama Islam di sekolah memiliki beberapa kelemahan sehingga tidak secara optimal mampu menghasilkan siswa yang memiliki al-nafs al-zakiyyah. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain: (1) materi pendidikan agama Islam, termasuk bahan ajar akhlak, lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik); (2) kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari; (3) lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif; (4) minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan; (5) rendahnya peran serta orang tua siswa.[14]
Nilai-nilai agama dalam praktik pendidikan di sekolah seringkali hanya dianggap pantas untuk mata pelajaran agama Islam, padahal nilai-nilai spiritual seharusnya terkandung pada semua mata pelajaran. Kepemilikan al-nafs al-zakiyyah akan sangat mungkin tercapai apabila semua mata pelajaran memberikan muatan nilai-nilai spiritual. Konsep integrasi atau internalisasi nilai-nilai agama ke dalam materi pembelajaran non-agama akan sangat membantu bukan hanya kepemilikan al-nafs al-zakiyyah tetapi lebih jauh akan tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yaitu bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[15]
Jiwa yang suci atau jiwa yang sehat dapat tercapai melalui sebuah proses yang disebut dengan tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa). Tazkiyat al-nafs adalah adalah sebuah konsep tasawuf, yang pertama kali dikemukakan oleh al-Ghazali dalam ”Ihya Ulum al-Din”. Berdasarkan pembahasan dalam ”Ihya Ulum al-Din”, konsep tazkiyat al-nafs pada intinya diorientasikan pada takhaliyat al-nafs (pengosongan jiwa dari sifat tercela) dan tahliyat al-nafs (menghiasi jiwa dengan sifat terpuji).[16] Untuk menuju arah itu al-Ghazali meninjau tazkiyat al-nafs dari segi ilmu, akidah, thaharat, keajaiban jiwa, dan latihan kejiwaan.[17] Tazkiyat al-nafs disebut sebagai suluk nafs, artinya menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti (sifat malaikat), sesudah membersihkannya dari sifat-sifat tercela dan hewaninya. Dengan kata lain, diri dibersihkan dari kotoran dan kerusakan.[18] Dalam pengertian yang lebih luas tazkiyat al-nafs bukan saja berarti penyucian jiwa tetapi meliputi juga pembinaan dan pengembangan jiwa (tarbiyat wa tanmiyat).[19]
Menyucikan jiwa (tazkiyat al-nafs) agar seseorang memperoleh jiwa yang suci (al-nafs al-zakiyyah) juga diperintahkan Allah SWT di dalam al-Quran dan al-Hadits.
— Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, [20]

Rasulullah SAW mengajarkan doa agar Allah SWT memberikan jiwa yang takwa dan suci melalui sabdanya,
اَللّهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا وَزَكَّاهَا اَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا اَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
“Ya Allah berikanlah kepadaku jiwa yang bertakwa dan jiwa yang bersih karena Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikan jiwa dan Engkau adalah pelindung dan penolong jiwa”.[21]

E. Kesimpulan
Pendidikan adalah juga merupakan upaya untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki Nafs zakiyyah. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan tasawuf selain pendekatan skriptualis, falsafi atau melalui metode pragmatik. Pendekatan tasawuf diarahakan agar peserta didik memiliki Nafs zakiyyah.
Al-nafs al-zakiyyah, menurut Fakhr al- Razi[22] adalah jiwa yang suci setelah melalui proses tazkiyat al-nafs dengan bertaubat dari perbuatan dosa. Kesucian nafs bersifat maknawi, maka kotornya pun bersifat maknawi. Seseorang akan terpelihara kesucian nafs-nya jika ia konsisten dalam jalan takwa, sebaliknya nafs akan berubah menjadi kotor jika pemiliknya menempuh jalan dosa atau fujur, sebagaimana firman Allah berfirman di dalam al-Quran surat al-Syams/91: 70.
Orang yang mengotori jiwanya dipastikan al-Quran sebagai orang yang rugi. Kata dassa (دسّ) secara bahasa berasal dari دسّ-يدسّ yang bermakna menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu.[23] Berdasarkan ayat tersebut orang yang mengotori jiwanya dengan perbuatan dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebagian mufasir berpendapat bahwa ayat al-Syams/91: 10 berkenaan dengan nafs orang-orang saleh yang melakukan kefasikan, bukan jiwa orang kafir. Karena orang saleh meski melakukan perbuatan dosa, tetapi dilakukannya secara sembunyi-sembunyi karena merasa malu. Sedangkan orang kafir melakukan dosa dengan terang-terangan.[24]
Nafs yang kotor masih dapat diusahakan untuk suci kembali, salah satu caranya adalah melalui pendidikan. Proses penyucian jiwa itulah yang disebut sebagai tazkiyat al-nafs atau al-Ghazali menyebutnya sebagai riyadhah al-nafs.[25]Menurut al-Ghazali salah satu fungsi pendidikan adalah untuk syiar Islam, memelihara kesucian jiwa, dan taqarrab ila Allah. Pendidikan adalah usaha untuk membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan menyucikan hati agar dekat dengan Sang Khaliq yaitu Allah SWT.[26] Pemikiran tersebut didasarkan pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya merupakan upaya tazkiyah al-nafs untuk mencapai kepemilikan nafs zakiyah.
Al-Quran memberikan isyarat bahwa tazkiyat al-nafs dilakukan melalui pendidikan atau pembelajaran sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 129; Alu-Imran/3: 164; al-Jumuah/62: 2.

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (Qs al-Baqarah/2: 129).

Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs Alu-Imran/3: 164).

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs al-Jumuah/62: 2).

DAFTAR PUSTAKA


Abd al-Hayy al-Farmawi.1977.Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’I. Cairo: al-Hadharah al-Arabi.

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2001. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Abdu al-Rahman al-Salih Abd Allah. 1982. Educational Theory a Quranic Outlook. Makkah: Umm al-Qura University.

Al-Ghazali. t.th. Ihya ulum al-Din, Ihya Ulum al-Din.Dar al-Ihya.

Athif Zain,.1985. Al-Sufiyyah fi Nazril Islam. Beirut: Dar al-Kitab..

Muhaimin dan Abdul Mujib.1993. Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Bandung: Trigenda Karya.

Muhaimin. 1996. Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Pusat Kurikulum.2002. Kurikulum dan Hasil Belajar Balitbang Depdiknas: Jakarta.

Syaikh Muhammad Amin al-kurdy al-Irbily al-Syafe’I. t.th. Tanwir al-Qulub, Semarang: Karya Toha Putra.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3.
M. Solihin. 2000. Penyucian Jiwa dalam Persfektif Tasawuf Al-Ghazali. Pustaka Setia: Bandung.

Mir Valiuddin.1996. Contemplative Disciplines in Sufism. Terjemahan M.S. Nasrullah. Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf. Pustaka Hidayah: Bandung.

A. F. Jaelani, 2001. Penyucian Jiwa dan Kesehatan Mental. Jakarta: Amzah.

Fakhr al-Din Razi, t.th. Mafatih al-Ghaib Beirut:Dar al-Ihya.

Ibn Manzhur. t.th. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Shadir.


[1] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 3.
[2] Abdu al-Rahman al-Salih Abd Allah. Educational Theory a Quranic Outlook (Makkah: Umm al-Qura University, 1982), hlm. 35-36.
[3] Lihat: Muhaimin, hlm. 40
[4] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 20.
[5] Muhaimin, hlm. 64
[6] Mulla Shadra dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, hlm. 22.
[7] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 6.
[8] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, hlm. 4.
[9] Lihat, Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, hlm. 8
[10] Didasarkan kepada pendapat Ab al-Hayy al-Farmawi, Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’I (Cairo: al-Hadharah al-Arabi, 1977), hlm. 24-64.
[11] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, hlm. 26
[12] Syaikh Muhammad Amin al-kurdy al-Irbily al-Syafe’I, Tanwir al-Qulub, (Semarang: Karya Toha Putra, t.th), hlm. 406.
[13] Athif Zain, Al-Sufiyyah fi Nazril Islam. (Beirut: Dar al-Kitab, 1985), hlm. 100.
[14] Pusat Kurikulum, Kurikulum dan Hasil Belajar (Balitbang Depdiknas: Jakarta, 2002), hal. 6.
[15] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3.
[16] Lihat Al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, Ihya Ulum al-Din (Dar al-Ihya, t.th), Juz II hlm. 2
[17] M. Solihin, Penyucian Jiwa dalam Persfektif Tasawuf Al-Ghazali (Pustaka Setia: Bandung, 2000), hlm. 50.
[18] Mir Valiuddin, Contemplative Disciplines in Sufism. Terjemahan M.S. Nasrullah. Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf (Pustaka Hidayah: Bandung, 1996), hlm. 45
[19] A. F. Jaelani, Penyucian Jiwa dan Kesehatan Mental (Amzah: Jakarta, 2001), Cetakan ke-2 hlm. 45.
[20] Qs. Al-Syams (91) : 7-9.
[21] Hadits Riwayat Muslim
[22] Fakhr al-Din Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut:Dar al-Ihya, t.th) tafsir ayat al-Kahf/18: 74, Juz ke-10, hlm. 237.
[23] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir, t.th), Juz ke-6, hlm. 82.
[24] Fakhr al-Din al-Razi, Juz ke-17, hlm. 49.
[25] Lihat al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Dar al-Ihya, t.th),Juz ke- 3, hlm. 47
[26] Al-Ghazali , Juz ke-3, hlm. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar