Kamis, 14 Mei 2009

MENGEMBANGKAN SENI ISLAMI: SEBUAH PENGANTAR

Oleh: Mohamad Erihadiana, M.Pd

A. Pendahuluan

Mayoritas kita (muslim) sudah dapat dipastikan akan mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan apalagi melarang seni. Sejumlah argumen, baik naqliyah, maupun aqliyah, dikemukakan untuk memperkuat pendapat tersebut. Akan tetapi, harus diakui kalau umat Islam belum pernah memiliki satu lembaga yang formal dan sistematis untuk melakukan kajian tentang seni secara komprehensif. Karena itulah, sampai sekarang kita belum memiliki konsep yang mapan dan jelas tentang konsep seni Islam (Islami).

Konsep tentang seni Islam (Islami), setidaknya mencakup tiga aspek yaitu:

  1. Konsep filosofis (estetika atau filsafat seni Islam, yang merumuskan batasan nilai keindahan sesuai ajaran Islam);
  2. Konsep teoritis (sejarah, struktur dan klasifikasi: apakah ada seni Islam ataukah hanya ada seni Muslim);
  3. Konsep praktis (kajian tentang teknik-teknik per bidang) maupun apresiasi (kritik seni yang mengkaji perkembangan seni Islam dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat Muslim).

Akibatnya, seni di dunia Islam seakan terkucilkan dari perkembangan seni dari masyarakat yang lebih luas karena tidak adanya instrumen untuk mengkomunikasikannya.

Seni adalah salah satu dari tujuh aspek integral–di samping sistem agama, pengetahuan, bahasa, ekonomi, teknologi, dan sosial– penyusun sebuah kebudayaan. Ia berkembang saling mempengaruhi secara simultan dengan keseluruhan kebudayaan yang bersangkutan. Islam sebagai sebuah sistem kebudayaan yang lengkap, dan bukan hanya sekadar sistem teologi, sebenarnya memiliki aspek seni yang berkembang seiring perkembangan umat. Namun, aspek ini sering terabaikan sehingga pemikiran seni dalam dunia Islam seolah tidak pernah muncul.

B. Seni: Realita dalam Kehidupan

Bagaimana hukum tentang seni, boleh, makrūh atau harām? Dalam praktek kehidupan sehari-hari, disadari atau tidak, kita telah lama terlibat dengan masalah seni. Bahkan sekarang seni telah dianggap sebagai gaya hidup.

Media, baik bacaan, audio dan audiovisual telah telah lama mempengaruhi kehidupan kita dan anak-anak kita. Belum lagi, Tempat-tempat hiburan (ma‘shiat) seperti "klub malam", bioskop dan panggung pertunjukkan jumlahnya sangat banyak dan telah mewarnai kehidupan. Banyak orang mencari kesenangan dengan bernyanyi, menari bersama sambil berjoget tanpa mempedulikan lagi hukum halāl-harām.

Cabang seni yang paling dipermasalahkan adalah nyanyian, musik,tarian, serta film/sinetron. Semua itu telah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan modern sekarang ini karena semua cabang seni ini dirasakan langsung telah merusak akhlaq dan nilai-nilai keislāman. Adanya dampak negatif dari bidang kesenian menyebabkan banyak orang bertanya-tanya, Bagaimana pandangan Islam terhadap seni budaya? bagaimana pandangan hukum Islam tentang seni tari, bolehkan wanita atau lelaki menari di kalangan mereka masing-masing? Bagaimana juga hukum tentang film/sinetron, novel, cerpen dan lain sebagainya?

C. Khatimah

Islam adalah agama yang menyukai keindahan dan selalu mengajak kepada keindahan dalam setiap hal. Seni, dalam hakikatnya adalah suatu karya yang mengandung keindahan, dalam hal ini Islam tidak mengingkarinya. Terdapat beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam mengembangkan seni Islam(i), yaitu:

  1. Seni Islam harus menjadikan akhlaq sebagai acuan keindahan seni itu sendiri, maksudnya bahwa seni harus berdasarkan acuan akhlak Islam.
  2. Kaidah yang menjadi barometer segala bentuk seni,

حسنُه حسن و قبيحه قبيح

Jika indah katakan indah, Jika jelek katakan jelek.

  1. Al-Quran sendiri dalam ayat-ayat yang dikandungnya banyak menyinggung keindahan, kerapihan, ketelitian, keteraturan yang kemudian memberikan keindahan, menggugah semangat, memberikan ketenangan bathin. Seperti keindahan alam raya. Keteraturan jagat alam semesta dll.
  2. Apabila keindahan dalam seni mengandung hal-hal negatif (kejelekan), baik kejelekan yang nampak atau maknawi, maka ia tidak termasuk dalam keindahan (seni) yang dibolehkan.
  3. seni apabila bertujuan untuk memberikan ketenangan fikiran, membangkitkan semangat yang mati, maka ia dibolehkan. Tetapi apabila yang terjadi adalah sebaliknya, bertujuan membangkit syahwat duniawi, atau malah tidak mempunyai tujuan sama sekali, sehingga seni tadi tidak berfungsi tuk membangun kehidupan bahkan menghancurkannya, ketika itu Islam tidak lagi menyebutnya sebagai sebuah seni tapi lahwun.
  4. Musik atau nyanyian yang dilantunkan dengan suara yang indah dan mengandung lirik yang baik bahkan membangun, Islam tidak melarangnya selama tidak bertentangan dengan akhlaq. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Rosulullah s.a.w bahwasannya Rosulullah memuji keindahan suara Abu Musa Al-Asy'ari –yang memang memiliki suara indah- ketika "menyanyikan"/ melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Begitu juga dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Rosulullah mempersilahkan dua orang hamba perempuan bernyanyi.
  5. Tarian, Islam membedakan antara tarian laki-laki dan tarian perempuan. Tarian-tarian daerah atau tarian-tarian negeri yang dilaksanakan oleh para lelaki adalah hal yang dibolehkan dalam Islam. Rosul pun membolehkan sayyidah Aisyah tuk melihat tarian orang-orang Habasyi pada hari raya. Sedangkan tarian perempuan, bila dilaksanakan dihadapan perempuan, hal ini dibolehkan. Tapi pabila dilaksanakan dihadapan para laki-laki, ini yang tidak dibenarkan dalam Islam.
  6. Drama, film, atau sinetron yang mempunyai peranan positif dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak berlebihan, dibolehkan dalam Islam.

Jumat, 13 Maret 2009

TAFSIR QURAN SURAT AL-RUM (30) AYAT 30
Oleh: Mohamad Erihadiana

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[1]

Allah menciptakan bagi manusia sesuatu yang disebut fithrah sehingga ia memiliki naluri alamiah (al-naz’ah al-fithriyyah) untuk mengenal Allah SWT dan beriman kepada-Nya, mengesakan-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan beribadah, berlindung dan meminta pertolongan kepada-Nya dari berbagai kesulitan dan bahaya. Makna ayat فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدّينِ حَنِيفاً adalah hadapkanlah wajahmu (wahai Muhammad) kepada al-din al-hanif yang telah menciptakannya Allah sebagai fithrah.
Al-Qurtubi mengomentari ayat ini dengan mengatakan bahwa dalam penciptaan manusia dengan segala tabiat yang membentuknya sudah terdapat naluri alamiah yang berupa pengetahuan mengenai ciptaan Allah dan dalil-dalil mengenai wujud Allah, keimanan, dan keesaan-Nya.[2] Sedangkan al-Thabari mengutip pendapat Mujahid dan Ikrimah menyatakan bahwa yang dimaksud ayat فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَر النَّاسَ عَلَيْها adalah al-Islam.[3]
Pada ayat lain Allah SWT juga berfirman dalam ayat al-Quran,
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)".[4]

Ayat ini juga menjadi dalil bahwa manusia lahir dengan naluri atau kecenderungan alamiah untuk mengenal Allah SWT, mengimani-Nya, dan mengesakan-Nya (fithrah). Allah menjelaskan bahwa manusia ketika berada di alam dzar yaitu alam sebelum kehidupan dunia sudah bersaksi atas kerububiyyahan Allah SWT sehingga nanti pada hari kiamat mereka tidak menjadi orang yang lalai terhadap hal itu.[5]
Hadits Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa manusia dilahirkan dengan fithrah dan agama yang lurus.

عن أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا َ
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi SAW bersabda tidak seorang anak dilahirkan kecuali dilahirkan dengan ”fitrah”, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi sebagaimana hewan dilahirkan dengan tubuh yang sempurna, apakah kamu melihat padanya ada kekurangan. Kemudian Abu Hurairah r.a mengutip firman Allah SWT. ” (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.”[6]

Hadits ini menjelaskan bahwa anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fithrah yaitu al-din al-hanif. Perubahan yang terjadi padanya adalah karena pengaruh orang tuanya , faktor pendidikan, dan lingkungan yang membentuknya. Terutama orang tua, merekalah yang melemahkan fitrah yang dibawa sejak lahir, dan orang tua pulalah yang menguatkan fitrah itu dengan agama yang diajarkan kepada anak-anak dan kemudian akan membentuk mereka.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang lain.
كُلُّ نَسَمَةٍ تُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهَا لِسَانُهَا فَأَبَوَاهَا يُهَوِّدَانِهَا ويُنَصِّرَانِهَا
Setiap jiwa yang dilahirkan memiliki fitrah hingga ia bisa berbicara, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani.[7]

Seorang anak, bagaimanapun memiliki kecenderungan alamiah untuk mengimani Allah dan mengesakan-Nya. Naluri ini akan tumbuh subur melalui pengajaran, pengarahan, dan petunjuk dari orang-orang yang membantunya melalui pendidikan. Dua hadits Rasulullah SAW di atas menyatakan bahwa pendidikan akan mengarahkan anak untuk belajar agama Islam, Yahudi, atau Majusi. Sedangkan agama adalah naluri alamiah sebagai fithrah al-insan sebagaimana juga lingkungan yang dikondisikan dapat membentuk pribadi manusia.
Rasulullah SAW mengisyaratkan bahwa amanah yang berupa keyakinan tauhid dan ubudiyah kepada Allah SWT adalah berupa al-fithrah yang ada dalam hati manusia. Hal itu dijelaskan melalui sabdanya berdasarkan riwayat dari Hudzaifah ibnu Yaman.
حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثَيْنِ رَأَيْتُ أَحَدَهُمَا وَأَنَا أَنْتَظِرُ الْآخَرَ حَدَّثَنَا أَنَّ الْأَمَانَةَ نَزَلَتْ فِي جَذْرِ قُلُوبِ الرِّجَالِ ثُمَّ عَلِمُوا مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ عَلِمُوا مِنْ السُّنَّةِ ....
Rasulullah SAW telah mengatakan kepada kami dua perkara yang salah satunya sudah saya ketahui dan aku menunggu perkataan berikutnya. Beliau mengatakan kepada kami sesungguhnya amanah itu berasal dari lubuk hati seseorang, kemudian ia mengetahuinya dari al-Quran setelah itu dari al-Sunnah ...[8]

Hadits tersebut selain menyebutkan bahwa kecenderungan alamiah bertauhid kepada Allah itu berada di lubuk hati manusia, juga menjelaskan bahwa naluri beragama juga membutuhkan bantuan melalui pembelajaran dari lingkungannya untuk membentuk pribadi seseorang. Al-Quran al-Karim dan al-Sunnah al-Nabawiyyah telah mengajarkan dan menjelaskan naluri alamiah beragama disertai pertumbuhan dan perkembangannya. Anak harus memperoleh pengajaran dari lingkungan sekitarnya dengan pengajaran dan penjelasan yang benar tentang aqidah yang lurus melalui pendidikan Islami didasarkan kepada al-Quran dan al-sunnah.
Rasulullah SAW mengisyaratkan tentang pengaruh syetan yang seringkali menggoda manusia agar menyimpang dari agama yang lurus. Hal itu dijelaskan oleh hadits Rasulullah SAW dari Iyadh Ibnu Himar.
إِنَّ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ أُعَلِّمَكُمْ مَا جَهِلْتُمْ مِمَّا عَلَّمَنِي يَوْمِي هَذَا كُلُّ مَالٍ نَحَلْتُهُ عَبْدًا حَلَالٌ وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا ......
Sesungguhnya Tuhanku memerintahkanku untuk mengajarkan kepada kamu sesuatu yang kamu tidak tahu. Dari apa yang Dia ajarkan kepadaku adalah: ”Setiap harta yang Aku berikan kepada seorang hamba adalah halal. Dan seseungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba yang lurus seluruhnya. Namun syetan datang kepada mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka, sehingga mereka halalkan sesuatu yan aku haramkan dan syetan telah memerintahkan mereka supaya syirik kepada-Ku dengan sesuatu yang tidak memiliki kekuasaan ....[9]

[1] Qs. Al-Rum (30) ayat 30
[2] Al-Qurtubi, juz 4 hal 129
[3] Al-Thabari, Juz 20 hal. 97 (al-Thabari, Ibnu Katsir, al-Qurthubi dan lain-lain menggunakan huruf ta marbutah dalam kata fitrah sedangkan dalam al-Quran mushaf ustmani menggunakan ta biasa)
[4] Qs. Al-A’raf (7) ayat 172
[5] Muhammad Ustman Najati, ha. 32
[6] Sahih Bukhari, Hadits no. 1270. Diriwayatkan pula oleh Muslim, Abu dawud dan Tirmidzi
[7] Meriwayatkan Ahmad berdasarkan riwayat dari Aswad ibn Sari’
[8] HR. Bukhari, Hadits no. 6016
[9] HR. Muslim, Hadits no. 5109
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM: PENDEKATAN TASAWUF

A. Pendahuluan
Upaya membangun teori pendidikan Islam harus ditopang oleh suatu paradigma yang mapan. Paradigma adalah istilah ilmiah yang secara umum dapat diartikan persepsi, asumsi, teori, kerangka acuan, atau kacamata yang digunakan untuk memandang dunia.[1] Pemikiran ini didasarkan kepada asumsi bahwa suatu disiplin ilmu tidak bernilai objektif apabila tidak didasarkan atas paradigma yang mapan berikut asumsi-asumsinya. Oleh karena itu, menelusuri paradigma yang dimulai dari konsep filosofis adalah langkah awal untuk membangun teori pendidikan Islam.
Paradigma Pendidikan Islam menurut Abd al-Rahman Salih Abd Allah, [2]harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis dalam Islam. Pemikiran yang berkembang terhadap pendidikan Islam terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menghendaki keterbukaan terhadap teori pendidikan non-Muslim dan berusaha mengadopsi konsep-konsep pendidikannya digabung dengan konsep pendidikan Islam. Kedua, kelompok yang berusaha mengangkat pesan ilahi ke dalam teori pendidikan Islam baik yang bersumber dari al-Quran, al-Sunnah, maupun penafsiran ulama terhadap kedua sumber tersebut.
Berdasarkan dua kelompok pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori pendidikan Islam dapat dibangun melalui empat pendekatan yaitu: (1) pendekatan pragmatik atau islamisasi pengetahuan; (2) pendekatan skriptualis; (3) pendekatan filosofis; (4) pendekatan tasawuf.
Pendekatan pragmatis adalah membangun teori pendidikan Islam dengan mengdopsi dan mentransformasikan kerangka teori pendidikan Barat untuk dilegalisasi dan dijustifikasi oleh nash al-Quran atau al-Sunnah. Pendekatan ini juga kemudian dikenal dengan istilah islamisasi pengetahuan. Islamisasi pengetahuan dapat diartikan sebagai upaya mengislamkan atau melakukan penyucian terhadap ilmu pengetahuan produk non-Muslim (Barat) yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak “khas Islami”.[3]
Tiga pendekatan lainnya, yaitu pendekatan skriptualis, pendekatan filosofis, dan pendekatan tasawuf lebih mengutamakan pengkajian dan pengembangan Pendidikan Islam berdasarkan sumber-sumber ajaran Islam. Pendekatan ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor (sebagai postulasi) yang digali dari al-nash. Konstruksi premis mayor ini dijadikan sebagai “kebenaran universal” yang dijadikan kerangka acuan penggalian premis minornya.[4] Sedangkan Muhaimin, menyebut pendekatan idealistik sebagai Model Neo-Modernis yaitu berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-sunnah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[5] Dari pendekatan idealistik ini lahirlah teori pendidikan Islam.
Berbeda dengan pendekatan pragmatik, tiga pendekatan tersebut lebih menggunakan tiga acuan sumber pengetahuan yaitu wahyu, burhan (akal), dan intuisi (irfan).[6] Dalam persfektif tafsir, pendekatan skriptualis identik dengan aliran manqul , pendekatan falsafi identik dengan ma’qul, dan pendekatan tasawuf identik dengan isyari.

B. Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam seringkali dianggap identik dengan pendidikan agama Islam. Menurut Muhaimin,[7] mengutip pendapat Ahmad Tafsir, istilah pendidikan Islam secara substansial berbeda dengan istilah pendidikan agama Islam. Pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan Islami, yang memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok Muslim yang diidealkan. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teori-teorinya berdasarkan disusun berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. Sedangkan pendidikan agama Islam adalah kegiatan atau usaha untuk mendidikkan agama Islam.[8] Jadi, pendidikan agama Islam dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan Islam.
Pengertian pendidikan Islam yang bersinggungan dengan pendidikan agama Islam dapat dipahami dalam tiga persfektif sebagai berikut.[9]
Pendidikan Islam yang diartikan sebagai pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam, atau sistem pendidikan yang Islami. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang dibangun dan dikembangkan berdasarkan ajaran serta nilai-nilai fundamental yang terkandung baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah.
Pendidikan Islam diartikan sebagai Pendidikan Ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan Islam dapat berwujud aktivitas untuk membantu peserta didik sebagai upaya menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidup yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
Pendidikan Islam diartikan sebagai pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.

Berdasarkan pemahaman bahwa pendidikan agama Islam adalah upaya untuk mendidikkan agama Islam agar nilai-nilai agama Islam tertanam dan tumbuh dalam kehidupan sehari-hari, maka pendidikan agama Islam tampaknya lebih cenderung diartikan sebagai pembelajaran agama Islam, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat.
C. Pendekatan Tasawuf dalam Pendidikan Islam
Pendekatan yang digunakan dalam membangun teori pendidikan Islam, sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, dapat dilakukan yaitu melalui pendekatan pragmatik, skriptualis, filosofis, dan tasawuf. Pendekatan pragmatis atau islamisasi pengetahuan membutuhkan kajian yang luas didasarkan kepada pendapat Ismail Raji’ al-Faruqi. Pada makalah ini, yang akan dibahas adalah pendekatan skriptualis, filosofis, dan tasawuf.

1. Pendekatan Skriptualis
Pendekatan skriptualis secara ringkas dilakukan melalui pengkajian tentang pendidikan Islam didasarkan atas teks-teks al-Quran ataupun al-Hadits secara literal. Prosedur yang ditempuh melalui empat cara[10]yaitu: prosedur tematis atau maudhu’i; prosedur analisis atau tahlili; prosedur perbandingan atau muqarin; dan prosedur global atau ijmali.
Dalam aplikasinya, pendekatan ini memerlukan pengetahuan yang luas terutama berkaitan dengan ulum al-Quran dan ulum al-Hadits. Selain itu, juga harus didukung oleh pengetahuan bahasa Arab yang cukup. Karena melalui pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat membantu validitas penafsiran terhadap nash.

2. Pendekatan Filosofis
Pendekatan falsafi adalah pendekatan pengkajian pendidikan Islam yang didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif. Prosedur yang dimaksud mencakup berpikir yang sitemik, radikal, dan universal, yang ditopang oleh kekuatan akal. Pendekatan falsafi tidak berarti meninggalkan nash, tetapi tetap berpegang kepada nash, hanya saja cara cara memahaminya dengan cara mengambil makna esensial yang terkandung di dalam nash. Landasan berpikirnya adalah akal sehat berasal dari Allah, demikian juga nash. Karena itu, tidak mungkin nash bertentangan dengan akal. Jika terjadi perbedaan, boleh jadi hal itu karena akal yang belum mampu menangkap pesan esensial nash, atau diperlukan ta’wil (interpretasi filosofis) terhadap lafal dalam nash.

3. Pendekatan Tasawuf
Pendekatan tasawuf dalam pendidikan Islam didasarkan kepada prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-rasa (al-zawqiyah). Prosedur yang dimaksudkan adalah dengan cara menajamkan kalbu melalui proses tazkiyat al-nafs.[11] Sebagaimana pendekatan filosofis, pendekatan tasawuf juga tidak meninggalkan nash, tetapi memahami nash berdasarkan ta’wil bathini. Ta’wil bathini adalah pemahaman nash berdasarkan dibalik yang nyata.
Pendekatan tasawuf dalam pendidikan agama Islam didasarkan kepada tujuan tasawuf. Tujuan tasawuf adalah mengetahui segala aspek yang berkaitan dengan nafs, baik nafs yang mulia maupun nafs yang tercela. Kemudian melakukan upaya-upaya pembersihan nafs yang tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia sebagai jalan untuk menuju kepada Allah. Tasawuf memiliki tujuan yang mulia karena berkaitan dengan usaha untuk ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mahabbatullah (mencintai Allah).[12] Agar ia dapat mencapai tujuan tasawuf harus melalui tahap-tahap (madarij) tertentu. Tahap-tahap tersebut menurut ibnu Arabi[13] diawali dengan tazkiyat al-nafs
Tazkiyat al-nafs artinya menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti (sifat malaikat), sesudah membersihkannya dari sifat-sifat tercela dan hewaninya. Dengan kata lain, diri dibersihkan dari kotoran dan kerusakan, sehingga diperoleh jiwa yang suci atau al-nafs al-zakiyyah.

D. Al-Nafs al-Zakiyyah sebagai Tujuan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam, seharusnya kaya dengan muatan-muatan rohani yang mengarahkan jiwa peserta didik kepada Allah SWT, sehingga melahirkan manusia yang memiliki jiwa yang suci (al-nafs al-zakiyyah). Pendekatan tasawuf Sesuai dengan tujuannya, pada dasarnya adalah pendekatan yang digunakan dalam pendidikan agama Islam agar siswa memiliki jiwa yang sehat atau jiwa yang suci.
Banyaknya kasus penyimpangan perilaku di kalangan remaja termasuk siswa-siswa sekolah menunjukkan bahwa pembelajaran agama Islam di sekolah ternyata belum sanggup menghasilkan siswa-siswa yang memiliki jiwa yang suci atau al-nafs al-zakiyyah. Penyebabnya antara lain karena masyarakat termasuk kalangan pendidik belum sepenuhnya menyadari arti penting penanaman keimanan yang kuat melalui pendidikan, kebutuhan jiwa yang sehat, dan pentingnya praktik-praktik keagamaan sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Pembelajaran agama Islam di sekolah memiliki beberapa kelemahan sehingga tidak secara optimal mampu menghasilkan siswa yang memiliki al-nafs al-zakiyyah. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain: (1) materi pendidikan agama Islam, termasuk bahan ajar akhlak, lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik); (2) kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari; (3) lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif; (4) minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan; (5) rendahnya peran serta orang tua siswa.[14]
Nilai-nilai agama dalam praktik pendidikan di sekolah seringkali hanya dianggap pantas untuk mata pelajaran agama Islam, padahal nilai-nilai spiritual seharusnya terkandung pada semua mata pelajaran. Kepemilikan al-nafs al-zakiyyah akan sangat mungkin tercapai apabila semua mata pelajaran memberikan muatan nilai-nilai spiritual. Konsep integrasi atau internalisasi nilai-nilai agama ke dalam materi pembelajaran non-agama akan sangat membantu bukan hanya kepemilikan al-nafs al-zakiyyah tetapi lebih jauh akan tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yaitu bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[15]
Jiwa yang suci atau jiwa yang sehat dapat tercapai melalui sebuah proses yang disebut dengan tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa). Tazkiyat al-nafs adalah adalah sebuah konsep tasawuf, yang pertama kali dikemukakan oleh al-Ghazali dalam ”Ihya Ulum al-Din”. Berdasarkan pembahasan dalam ”Ihya Ulum al-Din”, konsep tazkiyat al-nafs pada intinya diorientasikan pada takhaliyat al-nafs (pengosongan jiwa dari sifat tercela) dan tahliyat al-nafs (menghiasi jiwa dengan sifat terpuji).[16] Untuk menuju arah itu al-Ghazali meninjau tazkiyat al-nafs dari segi ilmu, akidah, thaharat, keajaiban jiwa, dan latihan kejiwaan.[17] Tazkiyat al-nafs disebut sebagai suluk nafs, artinya menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti (sifat malaikat), sesudah membersihkannya dari sifat-sifat tercela dan hewaninya. Dengan kata lain, diri dibersihkan dari kotoran dan kerusakan.[18] Dalam pengertian yang lebih luas tazkiyat al-nafs bukan saja berarti penyucian jiwa tetapi meliputi juga pembinaan dan pengembangan jiwa (tarbiyat wa tanmiyat).[19]
Menyucikan jiwa (tazkiyat al-nafs) agar seseorang memperoleh jiwa yang suci (al-nafs al-zakiyyah) juga diperintahkan Allah SWT di dalam al-Quran dan al-Hadits.
— Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, [20]

Rasulullah SAW mengajarkan doa agar Allah SWT memberikan jiwa yang takwa dan suci melalui sabdanya,
اَللّهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا وَزَكَّاهَا اَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا اَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
“Ya Allah berikanlah kepadaku jiwa yang bertakwa dan jiwa yang bersih karena Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikan jiwa dan Engkau adalah pelindung dan penolong jiwa”.[21]

E. Kesimpulan
Pendidikan adalah juga merupakan upaya untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki Nafs zakiyyah. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan tasawuf selain pendekatan skriptualis, falsafi atau melalui metode pragmatik. Pendekatan tasawuf diarahakan agar peserta didik memiliki Nafs zakiyyah.
Al-nafs al-zakiyyah, menurut Fakhr al- Razi[22] adalah jiwa yang suci setelah melalui proses tazkiyat al-nafs dengan bertaubat dari perbuatan dosa. Kesucian nafs bersifat maknawi, maka kotornya pun bersifat maknawi. Seseorang akan terpelihara kesucian nafs-nya jika ia konsisten dalam jalan takwa, sebaliknya nafs akan berubah menjadi kotor jika pemiliknya menempuh jalan dosa atau fujur, sebagaimana firman Allah berfirman di dalam al-Quran surat al-Syams/91: 70.
Orang yang mengotori jiwanya dipastikan al-Quran sebagai orang yang rugi. Kata dassa (دسّ) secara bahasa berasal dari دسّ-يدسّ yang bermakna menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu.[23] Berdasarkan ayat tersebut orang yang mengotori jiwanya dengan perbuatan dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebagian mufasir berpendapat bahwa ayat al-Syams/91: 10 berkenaan dengan nafs orang-orang saleh yang melakukan kefasikan, bukan jiwa orang kafir. Karena orang saleh meski melakukan perbuatan dosa, tetapi dilakukannya secara sembunyi-sembunyi karena merasa malu. Sedangkan orang kafir melakukan dosa dengan terang-terangan.[24]
Nafs yang kotor masih dapat diusahakan untuk suci kembali, salah satu caranya adalah melalui pendidikan. Proses penyucian jiwa itulah yang disebut sebagai tazkiyat al-nafs atau al-Ghazali menyebutnya sebagai riyadhah al-nafs.[25]Menurut al-Ghazali salah satu fungsi pendidikan adalah untuk syiar Islam, memelihara kesucian jiwa, dan taqarrab ila Allah. Pendidikan adalah usaha untuk membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan menyucikan hati agar dekat dengan Sang Khaliq yaitu Allah SWT.[26] Pemikiran tersebut didasarkan pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya merupakan upaya tazkiyah al-nafs untuk mencapai kepemilikan nafs zakiyah.
Al-Quran memberikan isyarat bahwa tazkiyat al-nafs dilakukan melalui pendidikan atau pembelajaran sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 129; Alu-Imran/3: 164; al-Jumuah/62: 2.

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (Qs al-Baqarah/2: 129).

Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs Alu-Imran/3: 164).

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs al-Jumuah/62: 2).

DAFTAR PUSTAKA


Abd al-Hayy al-Farmawi.1977.Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’I. Cairo: al-Hadharah al-Arabi.

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2001. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Abdu al-Rahman al-Salih Abd Allah. 1982. Educational Theory a Quranic Outlook. Makkah: Umm al-Qura University.

Al-Ghazali. t.th. Ihya ulum al-Din, Ihya Ulum al-Din.Dar al-Ihya.

Athif Zain,.1985. Al-Sufiyyah fi Nazril Islam. Beirut: Dar al-Kitab..

Muhaimin dan Abdul Mujib.1993. Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Bandung: Trigenda Karya.

Muhaimin. 1996. Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Pusat Kurikulum.2002. Kurikulum dan Hasil Belajar Balitbang Depdiknas: Jakarta.

Syaikh Muhammad Amin al-kurdy al-Irbily al-Syafe’I. t.th. Tanwir al-Qulub, Semarang: Karya Toha Putra.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3.
M. Solihin. 2000. Penyucian Jiwa dalam Persfektif Tasawuf Al-Ghazali. Pustaka Setia: Bandung.

Mir Valiuddin.1996. Contemplative Disciplines in Sufism. Terjemahan M.S. Nasrullah. Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf. Pustaka Hidayah: Bandung.

A. F. Jaelani, 2001. Penyucian Jiwa dan Kesehatan Mental. Jakarta: Amzah.

Fakhr al-Din Razi, t.th. Mafatih al-Ghaib Beirut:Dar al-Ihya.

Ibn Manzhur. t.th. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Shadir.


[1] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 3.
[2] Abdu al-Rahman al-Salih Abd Allah. Educational Theory a Quranic Outlook (Makkah: Umm al-Qura University, 1982), hlm. 35-36.
[3] Lihat: Muhaimin, hlm. 40
[4] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 20.
[5] Muhaimin, hlm. 64
[6] Mulla Shadra dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, hlm. 22.
[7] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 6.
[8] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, hlm. 4.
[9] Lihat, Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, hlm. 8
[10] Didasarkan kepada pendapat Ab al-Hayy al-Farmawi, Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’I (Cairo: al-Hadharah al-Arabi, 1977), hlm. 24-64.
[11] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, hlm. 26
[12] Syaikh Muhammad Amin al-kurdy al-Irbily al-Syafe’I, Tanwir al-Qulub, (Semarang: Karya Toha Putra, t.th), hlm. 406.
[13] Athif Zain, Al-Sufiyyah fi Nazril Islam. (Beirut: Dar al-Kitab, 1985), hlm. 100.
[14] Pusat Kurikulum, Kurikulum dan Hasil Belajar (Balitbang Depdiknas: Jakarta, 2002), hal. 6.
[15] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3.
[16] Lihat Al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, Ihya Ulum al-Din (Dar al-Ihya, t.th), Juz II hlm. 2
[17] M. Solihin, Penyucian Jiwa dalam Persfektif Tasawuf Al-Ghazali (Pustaka Setia: Bandung, 2000), hlm. 50.
[18] Mir Valiuddin, Contemplative Disciplines in Sufism. Terjemahan M.S. Nasrullah. Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf (Pustaka Hidayah: Bandung, 1996), hlm. 45
[19] A. F. Jaelani, Penyucian Jiwa dan Kesehatan Mental (Amzah: Jakarta, 2001), Cetakan ke-2 hlm. 45.
[20] Qs. Al-Syams (91) : 7-9.
[21] Hadits Riwayat Muslim
[22] Fakhr al-Din Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut:Dar al-Ihya, t.th) tafsir ayat al-Kahf/18: 74, Juz ke-10, hlm. 237.
[23] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir, t.th), Juz ke-6, hlm. 82.
[24] Fakhr al-Din al-Razi, Juz ke-17, hlm. 49.
[25] Lihat al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Dar al-Ihya, t.th),Juz ke- 3, hlm. 47
[26] Al-Ghazali , Juz ke-3, hlm. 48
TAFSIR SURAT AL-MAIDAH (5) AYAT 54

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

A. Munasabah
Kaitan antar-ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya (ayat 51-53) adalah tentang adanya orang yang beriman menjadikan orang Nasrani dan Yahudi sebagai wali (pemimpin, pelindung, sahabat dekat, atau orang kepercayaan). Kemudian ditegaskan bahwa barang siapa melakukan hal itu, maka ia termasuk golongan mereka. Setelah itu, akan terlihatlah orang-orang nifaq (munafiq) yang mendekati Yahudi dan Nasrani meminta perlindungan kepada mereka. Orang-orang yang seperti itu akan dihapus seluruh amalnya dan menjadi sia-sia segala sesuatu yang mereka lakukan.
Dalam ayat ini (ayat 54) digambarkan bahwa kejadian yang lebih parah akan terjadi yaitu murtadnya orang-orang Islam. dari empat ayat ini dapat disimpulkan bahwa sebelum seseorang murtad (keluar dari Islam), pertama akan diawali oleh menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali, kemudian pada tahap kedua adanya ketakutan datangnya bencana sehingga meminta perlindungan kepada mereka (Yahudi dan Nasrani), barulah pada tahap ketiga terjadilah peristiwa murtad.

B. Kandungan Ayat
Khitab atau tujuan ayat ini adalah peringatan dan ancaman: “Wahai sebagaian orang-orang yang beriman barang siapa yang keluar dari agama yang haq (Islam) dan menggantinya dengan agama lain serta kembali kepada kekufuran sesudah iman.” Sekaligus pula, dalam ayat ini terkandung informasi tentang peristiwa (banyaknya orang murtad) yang akan terjadi pada masa yang akan datang (ikhbar al-ghaib qabla wuqu-‘ihi).
Ibnu Jarir dan Qatadah mengatakan bahwa Allah Swt. menurunkan ayat ini karena Dia mengetahui akan banyaknya orang yang murtad terutama setelah Nabi Saw. wafat. Kategori murtad yang pertama muncul sesudah Nabi Saw wafat (pada masa Abu Bakar al-Sidiq) adalah orang-orang yang mengatakan: “kami shalat tapi kami tidak mau membayar zakat karena Allah tidak dapat merampas harta kami”

Inilah jawaban Allah, bahwa Dia akan mendatangkan satu kaum yang Ia mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah. Huruf fa pada kata fa saufa adalah jawab syarat yang bermakna jika terjadi orang-orang yang beriman murtad dari agama Allah, maka Allah akan mendatangkan kaum yang Ia cintai dan mereka pun mencintai Allah Swt. Inilah karakteristik pertama dari mukmin yang sempurna (al-mukmin al-kamil) yaitu mereka yang dicintai Allah karena mereka mencintai Allah Swt. Oleh karena itu, mukmin yang sempurna adalah mukmin yang memiliki sifat mahabbah (cinta kepada Allah).
Orang yang berusaha mencintai Allah akan merasakan manisnya iman, sebagaimana hadits Rasulullah Saw.
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Dari Nabi Saw bersabda: tiga perkara yang dengannya seseorang akan merasakan manisnya iman: (1) seseorang yang mencintai Allah dan RasulNya dan tidak ada yang melebihi cinta kepada keduanya; (2) tidak mencintai seseorang/sesuatu kecuali atas dasar cinta kepada Allah; (3) seseorang yang benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke neraka (Hr. Bukhari dan Muslim)

Karakteristik yang kedua adalah mereka berkasih sayang dengan sesama mukmin dan keras terhadap musuh-musuh mereka yang kafir (Yahudi dan Nasrani). Karakter ini semakna dengan ayat:
(Keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang dengan sesama mereka (Qs. Al-Fath: 29)).

Karekteristik ketiga adalah berjuang di jalan Allah yaitu jalan kebenaran dan kebaikan untuk memperoleh ridha Allah Swt. Sebaik-baiknya jihad adalah mengorbankankan jiwa dan harta untuk memerangi musuh-musuh kebenaran (al-haq). Itulah ciri nyata dari mukmin yang benar dan lurus.

Ciri yang keempat adalah mereka tidak takut dengan celaan dari orang-orang munafik. Orang munafik yang lebih khawatir kepada hinaan dan celaan dari orang Yahudi dan Nasrani yang menjadi wali mereka, atau takut dimusuhi dan diperangi oleh Yahudi dan Nasrani. Orang-orang yang memiliki iman sempurna tidak pernah berharap balasan atau pujian dari manusia tetapi amal yang dilakukan didasarkan kepada kebenaran dan menjauhi sesuatu yang bathil karena jelas bathilnya.

Inilah di antara sifat-sifat utama yang dikaruniakan Allah kepada hamba-hamba yang Ia kehendaki dan menjauhkannya dari selain mereka. Itulah masyiah (ketentuan) yang Allah tetapkan. Allah yang maha memiliki berbagai keutamaan, Ia maha luas dengan rahmatNya dan maha mengetahui terhadap keadaan ciptaanNya.