Sabtu, 24 Desember 2011
UJIAN AKHIR SEMESTER
TAHUN AKADEMIK 2011 / 2012
Mata Kuliah : Landasan Pendidikan
Jenjang/Program Studi : S.1 /Pendidikan Bahasa Arab
Semester : 1 (Satu)
Dosen : Prof. Dr. H. Afifuddin, M.M
Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Jawablah Soal-Soal di bawah ini :
1. Jelaskan secara ringkas dan jelas, apa saja manfaat Mata Kuliah Landasan Pendidikan bagi mahasiswa dan alasan-alasan apa yang menyebabkan Mata Kuliah Landasan Pendidikan perlu dipelajari oleh Mahasiswa calon pendidik.
2. Jelaskan hasil analisis Anda tentang pengertian belajar, teori belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, dan teori motivasi dalam pembelajaran.
3. Manajemen mutu pendidikan akan berdampak kepada efisiensi program pendidikan dan meningkatnya kualitas serta produktivitas lembaga. Coba Anda jelaskan apa pengertian manajemen mutu dan jelaskan pula proses manajemen mutu mulai berdasarkan prinsip Total Quality Management (TQM) .
4. Dalam sistem pendidikan Indonesia dikenal lembaga pendidikan umum yaitu SD, SMP, SMA/SMK dan lembaga pendidikan madrasah yaitu MI, MTS, MA/MAK. Jelaskan secara singkat apa perbedaan dan persamaan antara sekolah dan madrasah. Kemudian buatlah analisis sederhana bagaimana pengembangan madrasah yang baik berdasarkan hasil pengamatan Anda.
5. Buatlah contoh inovasi pendidikan di sekolah/madrasah dalam pelaksanaan pendidikan baik sistem, perencanaan, metode, media, dan evaluasi.
6. Guru dalam Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen wajib memiliki kualifikasi dan kompetensi. Jelaskan pengertian kualifikasi dan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru!
7. Jelaskan secara ringkas pengertian:
a. Life skill
b. Long lifec education
SELAMAT BEKERJA
Kamis, 03 November 2011
ujian tengah semester metris
UJIAN TENGAH SEMESTER
Mata Kuliah : Metodologi Penelitian
Jurusan/Semester : PGMI A,B.C/VII
Dosen : Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Jawablah Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jelas!
1. Jelaskan mengapa riset digunakan untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah?
2. Sain sebagai proses, tahapannya merupakan metode ilmiah; sebutkan secara garis besar!
3. Kemukakan definisi Riset yang meliputi: essensinya, karakteristik pokoknya, dan tujuannya!
4. Kemukakan secara jelas jenis riset didasarkan kepada:
a. Metodenya; b. Fungsinya c. tujuannya
5. Uraikan secara garis besar perbedaan yang paling pokok antara Riset Kuantitatif dengan Kualitatif!
6. Jelaskan secara singkat makna konsep-konsep berikut:
a. Variabel; b. Teori;
c. Sampel d. angket
7. berikan masing-masing satu contoh judul penelitian berdasarkan jenis penelitian di bawah ini kemudian buatlah rumusan masalahnya:
a. eksperimen
b. Penelitian Tindakan Kelas
c. Studi Kasus
d. survai
8. Beri satu contoh (BUKAN DEFINISI!) dari konsep-konsep berikut:
a. Fenomena
b. Variabel
c. Sampel
d. Teknik Pengumpulan Data
9. Di dalam penelitian kualitatif terdapat penelitian interaktif dan non-interaktif, jelaskan perbedaannya keduanya serta jenis-jenis penelitian tersebut
Mata Kuliah : Metodologi Penelitian
Jurusan/Semester : PGMI A,B.C/VII
Dosen : Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Jawablah Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jelas!
1. Jelaskan mengapa riset digunakan untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah?
2. Sain sebagai proses, tahapannya merupakan metode ilmiah; sebutkan secara garis besar!
3. Kemukakan definisi Riset yang meliputi: essensinya, karakteristik pokoknya, dan tujuannya!
4. Kemukakan secara jelas jenis riset didasarkan kepada:
a. Metodenya; b. Fungsinya c. tujuannya
5. Uraikan secara garis besar perbedaan yang paling pokok antara Riset Kuantitatif dengan Kualitatif!
6. Jelaskan secara singkat makna konsep-konsep berikut:
a. Variabel; b. Teori;
c. Sampel d. angket
7. berikan masing-masing satu contoh judul penelitian berdasarkan jenis penelitian di bawah ini kemudian buatlah rumusan masalahnya:
a. eksperimen
b. Penelitian Tindakan Kelas
c. Studi Kasus
d. survai
8. Beri satu contoh (BUKAN DEFINISI!) dari konsep-konsep berikut:
a. Fenomena
b. Variabel
c. Sampel
d. Teknik Pengumpulan Data
9. Di dalam penelitian kualitatif terdapat penelitian interaktif dan non-interaktif, jelaskan perbedaannya keduanya serta jenis-jenis penelitian tersebut
Rabu, 03 Agustus 2011
NILAI DALAM PANDANGAN ISLAM
Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Teori nilai di dalam Islam dikenal dengan istilah akhlak yang semakna dengan etika. Perkataan akhlak sendiri berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata “khulukun” ( خلق). Secara etimologi akhlak diartikan sebagai budi pekerti, tingkah laku atau tabiat.
Walaupun akhlak sering dimaknai dengan etika atau etika Islam, tetapi akhlak memiliki karakteristik yang berbeda dengan etika. Kriteria tersebut adalah seperti tecantum di bawah ini.
(a) Mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
(b) Sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.
(c) Bersifat universal dan konperhensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
(d) Memiliki ajaran-ajaran yang praktis dan tepat, sesuai dengan fitrah dan akal manusia (manusiawi).
(e) Mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah menuju kepada keridhoannya.
1. Sistem Nilai Islam
Sistem nilai yang dijadikan kerangka acuan untuk menjadi rujukan cara berperilaku lahiriah dan rohaniah manusia adalah nilai yang diajarkan oleh Islam sebagai wahyu Allah SWt. Nilai dan moralitas Islam adalah satu kebulatan nilai yang mengandung aspek normatif (kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal perbuatan).
Nilai-nilai dalam Islam mengandung dua kategori arti. Pertama, dilihat dari segi normatif yaitu pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batal, diridhai dan dikutuk oleh Allah SWT. Kedua, dilihat dari segi operatif adalah fardhu, sunnat, mubah, makruh, dan haram.
Nilai-nilai yang tercakup di dalam sistem nilai Islam merupakan komponen atau sub sistem dari:
(a) Sistem nilai kultural yang senada dan senafas dengan Islam.
(b) Sistem nilai sosial yang memiliki mekanisme gerak yang berorientasi kepada kehidupan sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat.
(c) Sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang didorong oleh fungsi-fungsi psikologisnya untuk berprilaku secara terkontrol oleh nilai yang menjadi sumber rujukannya, yaitu Islam.
(d) Sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia) yang mengandung inter-relasi dengan lainnya. Tingkah laku ini timbul karena adanya tuntutan dari kebutuhan mempertahankan hidup yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai motivatif dalam pribadinya (Arifin, 1994: 141).
2. Peranan Aql, Nafs, dan Qolb
Berbicara tentang akhlak, tidak bisa dilepaskan dari permasalahan akal, nafs, dan qolbu. Ketiga hal tersebut adalah perangkat yang membentuk perangai atau tabiat manusia. Walaupun demikian Abdul fattah Jalal (1988), tidak sepakat dengan aql, nafs, dan qolb, tetapi perangkat tabiat manusia menurutnya adalah jism (tubuh), aql, qolb, dan ruh.
Chittick (2001: 56), menggambarkan keterkaitan antara nafs, hati, akal, dan ruh yang memperlihatkan bahwa masing-masing istilah dalam penerapannya seringkali jumbuh, dan menunjuk kepada keserbaragaman tingkat realitas.
Kita, barangkali dapat mengatakan bahwa ruh memiliki wilayah yang paling luas mencakup keseluruhan realitas dalam (bathin) manusia; “akal” berada di bawah pemahaman ruh; dan kata “hati” menggarisbawahi kesadaran (yang bersumber dari ruh), khususnya kesadaran Tuhan. Sedangkan kata “nafs” menyeret jauh dari cahaya kesadaran ruh yang berasal dari perintah Tuhan (pengetahuan dan kesadaran). Seperti halnya jasad, nafs tidak dapat menangkap kilauan cahaya yang bersinar dari balik kegelapannya.
Keterkaitan antara ruh, qalb, dan nafs juga dijelaskan oleh Djawad Dahlan (1999) sebagai berikut.
Di dalam nafs ada qolbu -sebagai sentral ruh- yang berisi sifat-sifat Allah, ilham moralitas, serta bibit iman, juga ada hawa yang merupakan dorongan-dorongan hasrat kebinatangan. Maka nafs harus dikendalikan jangan sampai didominasi oleh hawa (Qs: Al-Naziat: 40). Adapun ruh pada manusia merupakan kemampuan memahami pesan/ajaran/konsep yang secara ringkas disebut kesadaran.
Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Teori nilai di dalam Islam dikenal dengan istilah akhlak yang semakna dengan etika. Perkataan akhlak sendiri berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata “khulukun” ( خلق). Secara etimologi akhlak diartikan sebagai budi pekerti, tingkah laku atau tabiat.
Walaupun akhlak sering dimaknai dengan etika atau etika Islam, tetapi akhlak memiliki karakteristik yang berbeda dengan etika. Kriteria tersebut adalah seperti tecantum di bawah ini.
(a) Mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
(b) Sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.
(c) Bersifat universal dan konperhensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
(d) Memiliki ajaran-ajaran yang praktis dan tepat, sesuai dengan fitrah dan akal manusia (manusiawi).
(e) Mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah menuju kepada keridhoannya.
1. Sistem Nilai Islam
Sistem nilai yang dijadikan kerangka acuan untuk menjadi rujukan cara berperilaku lahiriah dan rohaniah manusia adalah nilai yang diajarkan oleh Islam sebagai wahyu Allah SWt. Nilai dan moralitas Islam adalah satu kebulatan nilai yang mengandung aspek normatif (kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal perbuatan).
Nilai-nilai dalam Islam mengandung dua kategori arti. Pertama, dilihat dari segi normatif yaitu pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batal, diridhai dan dikutuk oleh Allah SWT. Kedua, dilihat dari segi operatif adalah fardhu, sunnat, mubah, makruh, dan haram.
Nilai-nilai yang tercakup di dalam sistem nilai Islam merupakan komponen atau sub sistem dari:
(a) Sistem nilai kultural yang senada dan senafas dengan Islam.
(b) Sistem nilai sosial yang memiliki mekanisme gerak yang berorientasi kepada kehidupan sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat.
(c) Sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang didorong oleh fungsi-fungsi psikologisnya untuk berprilaku secara terkontrol oleh nilai yang menjadi sumber rujukannya, yaitu Islam.
(d) Sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia) yang mengandung inter-relasi dengan lainnya. Tingkah laku ini timbul karena adanya tuntutan dari kebutuhan mempertahankan hidup yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai motivatif dalam pribadinya (Arifin, 1994: 141).
2. Peranan Aql, Nafs, dan Qolb
Berbicara tentang akhlak, tidak bisa dilepaskan dari permasalahan akal, nafs, dan qolbu. Ketiga hal tersebut adalah perangkat yang membentuk perangai atau tabiat manusia. Walaupun demikian Abdul fattah Jalal (1988), tidak sepakat dengan aql, nafs, dan qolb, tetapi perangkat tabiat manusia menurutnya adalah jism (tubuh), aql, qolb, dan ruh.
Chittick (2001: 56), menggambarkan keterkaitan antara nafs, hati, akal, dan ruh yang memperlihatkan bahwa masing-masing istilah dalam penerapannya seringkali jumbuh, dan menunjuk kepada keserbaragaman tingkat realitas.
Kita, barangkali dapat mengatakan bahwa ruh memiliki wilayah yang paling luas mencakup keseluruhan realitas dalam (bathin) manusia; “akal” berada di bawah pemahaman ruh; dan kata “hati” menggarisbawahi kesadaran (yang bersumber dari ruh), khususnya kesadaran Tuhan. Sedangkan kata “nafs” menyeret jauh dari cahaya kesadaran ruh yang berasal dari perintah Tuhan (pengetahuan dan kesadaran). Seperti halnya jasad, nafs tidak dapat menangkap kilauan cahaya yang bersinar dari balik kegelapannya.
Keterkaitan antara ruh, qalb, dan nafs juga dijelaskan oleh Djawad Dahlan (1999) sebagai berikut.
Di dalam nafs ada qolbu -sebagai sentral ruh- yang berisi sifat-sifat Allah, ilham moralitas, serta bibit iman, juga ada hawa yang merupakan dorongan-dorongan hasrat kebinatangan. Maka nafs harus dikendalikan jangan sampai didominasi oleh hawa (Qs: Al-Naziat: 40). Adapun ruh pada manusia merupakan kemampuan memahami pesan/ajaran/konsep yang secara ringkas disebut kesadaran.
Minggu, 01 Mei 2011
Khalifah
TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 30
Oleh: Mohamad Erihadiana
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Makna Khalifah menurut Bahasa
Khalifah berasal dari kata khalafa. Menurut Ibn al-Manzhur (Lisân al-‘Arab, I/882, 883, pasal Khalafa), Istakhlafa fulân min fulân (Seseorang mengangkat si fulan), artinya ja'alahu makanahu (Ia menetapkan Fulan menduduki posisinya). Khalafa fulân[un] fulân[an] idzâ kâna khalîfatuhu (Fulan menggantikan si fulan jika dia adalah khalifah (pengganti)-nya). Dikatakan, Khalaftu fulân[an] (Aku menggantikan fulan); akhlufuhu takhlîfan (Aku menggantikannya sebagai pergantian); Istakhlaftuhu ana ja’altuhu khalîfati wa astakhlifuhu (Aku mengangkatnya, aku menetapkan sebagai penggantiku dan aku mengangkatnya).
Jadi, menurut bahasa, khalîfah adalah orang yang mengantikan orang sebelumnya; pengganti yang menggantikan umat atau pemimpin terdahulu; menggantikan malaikat untuk mengurus bumi atau mendapat amanah dari Allah untuk mengelola bumi. Imam Sibawaih mengatakan, khalîfah jamaknya khalâ’if, sedangkan.menurut Imam Ath-Thabari khalifah jamaknya adalah khulafâ’. Makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthân al-a‘zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).
Khalifah di dalam al-Quran
Al-Quran menyebut kata khalîfah dalam bentuk tunggal terulang dua kali yaitu dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26. Sedangkan bentuk plural/jamaknya terdiri dari dua bentuk, yaitu: (a) Khalaif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah Al-An'am 165, Yunus 14, 73, dan Fathir 39. (b) Khulafa' terulang sebanyak tiga kali pada surah Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62. Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa' yang pada mulanya berarti "di belakang". Dari sini, kata khalifah seringkali diartikan sebagai "pengganti" (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya).
Al-Raghib Al-Isfahani, dalam Mufradat li Alfaz Al-Qur'an, menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Lebih lanjut, Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan.
Munasabah
Nabi Daud a.s. sebagaimana diceritakan oleh al-baqarah 251, sesudah berhasil membunuh jalut:
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.
Dalam Qs. Shad ayat 26, kemudian Allah Berfirman:
Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
Berdasarkan dua ayat tersebut, kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud a.s. bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan. Makna "pengelolaan wilayah tertentu", atau katakanlah bahwa pengelolaan tersebut berkaitan dengan kekuasaan politik, dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafa’ (Perhatikan Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62).
Berbeda dengan kata khala'if, yang tidak mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan politik dinamai oleh Al-Quran khala'if; tanpa menggunakan bentuk mufrad (tunggal). Tidak digunakannya bentuk mufrad untuk makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. Hal ini dapat mewujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujudkannya dalam bentuk otoriter atau diktator.
Ditemukan persamaan-persamaan Al-Baqarah ayat 30, yang menggunakan kata khalifah untuk Adam as., dengan ayat yang membicarakan Daud a.s., baik persamaan dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks uraian. Adam juga dinamai khalifah. Beliau, sebagaimana Daud, juga diberi pengetahuan --Wa 'allama Adam al-asma' kullaha-- yang kekhalifahan keduanya berkaitan dengan Al-Ardha: Inni ja'il fi al-ardhi khalifah (Adam) dan Ya Daud inna Ja'alnaka khalifatan fi al-ardh (Daud).
Adam dan Daud keduanya digambarkan oleh Al-Quran sebagai pernah tergelincir tetapi diampuni Tuhan. (Baca masing-masing QS 2: 36, 37, dan QS 38:22-25).
Kesimpulan
1. Kata khalifah digunakan oleh Al-Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Daud (1000-947 S.M.) mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
2. Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu. (Baca QS 20:16, dan QS 38:26).
3. Pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) dan dengan kata ja'il yang berarti akan mengangkat. Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami) dan dengan bentuk kata kerja masa lampau ja'alnaka (Kami telah menjadikan kamu). Wallahu ’alam bis Shawab
Oleh: Mohamad Erihadiana
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Makna Khalifah menurut Bahasa
Khalifah berasal dari kata khalafa. Menurut Ibn al-Manzhur (Lisân al-‘Arab, I/882, 883, pasal Khalafa), Istakhlafa fulân min fulân (Seseorang mengangkat si fulan), artinya ja'alahu makanahu (Ia menetapkan Fulan menduduki posisinya). Khalafa fulân[un] fulân[an] idzâ kâna khalîfatuhu (Fulan menggantikan si fulan jika dia adalah khalifah (pengganti)-nya). Dikatakan, Khalaftu fulân[an] (Aku menggantikan fulan); akhlufuhu takhlîfan (Aku menggantikannya sebagai pergantian); Istakhlaftuhu ana ja’altuhu khalîfati wa astakhlifuhu (Aku mengangkatnya, aku menetapkan sebagai penggantiku dan aku mengangkatnya).
Jadi, menurut bahasa, khalîfah adalah orang yang mengantikan orang sebelumnya; pengganti yang menggantikan umat atau pemimpin terdahulu; menggantikan malaikat untuk mengurus bumi atau mendapat amanah dari Allah untuk mengelola bumi. Imam Sibawaih mengatakan, khalîfah jamaknya khalâ’if, sedangkan.menurut Imam Ath-Thabari khalifah jamaknya adalah khulafâ’. Makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthân al-a‘zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).
Khalifah di dalam al-Quran
Al-Quran menyebut kata khalîfah dalam bentuk tunggal terulang dua kali yaitu dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26. Sedangkan bentuk plural/jamaknya terdiri dari dua bentuk, yaitu: (a) Khalaif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah Al-An'am 165, Yunus 14, 73, dan Fathir 39. (b) Khulafa' terulang sebanyak tiga kali pada surah Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62. Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa' yang pada mulanya berarti "di belakang". Dari sini, kata khalifah seringkali diartikan sebagai "pengganti" (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya).
Al-Raghib Al-Isfahani, dalam Mufradat li Alfaz Al-Qur'an, menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Lebih lanjut, Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan.
Munasabah
Nabi Daud a.s. sebagaimana diceritakan oleh al-baqarah 251, sesudah berhasil membunuh jalut:
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.
Dalam Qs. Shad ayat 26, kemudian Allah Berfirman:
Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
Berdasarkan dua ayat tersebut, kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud a.s. bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan. Makna "pengelolaan wilayah tertentu", atau katakanlah bahwa pengelolaan tersebut berkaitan dengan kekuasaan politik, dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafa’ (Perhatikan Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62).
Berbeda dengan kata khala'if, yang tidak mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan politik dinamai oleh Al-Quran khala'if; tanpa menggunakan bentuk mufrad (tunggal). Tidak digunakannya bentuk mufrad untuk makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. Hal ini dapat mewujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujudkannya dalam bentuk otoriter atau diktator.
Ditemukan persamaan-persamaan Al-Baqarah ayat 30, yang menggunakan kata khalifah untuk Adam as., dengan ayat yang membicarakan Daud a.s., baik persamaan dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks uraian. Adam juga dinamai khalifah. Beliau, sebagaimana Daud, juga diberi pengetahuan --Wa 'allama Adam al-asma' kullaha-- yang kekhalifahan keduanya berkaitan dengan Al-Ardha: Inni ja'il fi al-ardhi khalifah (Adam) dan Ya Daud inna Ja'alnaka khalifatan fi al-ardh (Daud).
Adam dan Daud keduanya digambarkan oleh Al-Quran sebagai pernah tergelincir tetapi diampuni Tuhan. (Baca masing-masing QS 2: 36, 37, dan QS 38:22-25).
Kesimpulan
1. Kata khalifah digunakan oleh Al-Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Daud (1000-947 S.M.) mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
2. Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu. (Baca QS 20:16, dan QS 38:26).
3. Pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) dan dengan kata ja'il yang berarti akan mengangkat. Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami) dan dengan bentuk kata kerja masa lampau ja'alnaka (Kami telah menjadikan kamu). Wallahu ’alam bis Shawab
Rabu, 06 April 2011
Tazkiyat al-Nafs dalam Persfektif Tasawuf
Oleh: Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Tujuan tasawuf adalah mengetahui segala aspek yang berkaitan dengan nafs, baik nafs yang mulia maupun nafs yang tercela. Kemudian melakukan upaya-upaya pembersihan nafs yang tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia sebagai jalan untuk menuju kepada Allah. Tasawuf memiliki tujuan yang mulia karena berkaitan dengan usaha untuk ma’rifatullâh (mengenal Allah) dan mahabbatullâh (mencintai Allah).
Al-Jurairi menyebutkan tujuan tasawuf adalah membina kebiasaan-kebiasaan baik serta menjaga hati dari keinginan dan hasrat hawa nafsu. Sedangkan Al-Mudarrisi, menyebutkan bahwa tujuan tasawuf adalah zuhd terhadap dunia, mencintai akhirat dan memperbanyak ibadah kepada Allah tanpa meninggalkan sesuatu yang dibolehkan dari kelezatan dunia tetapi dalam batas-batas tertentu. Seorang sâlik (pencari Allah), agar ia dapat mencapai tujuan tasawuf harus melalui tahap-tahap (madârij) tertentu. Tahap-tahap tersebut menurut Ibn Arabi diawali dengan tazkiyat al-nafs
Perjalanan spiritual yang pertama untuk mencapai tujuan tasawuf adalah tazkiyat al-nafs yang diterjemahkan dengan penyucian jiwa. Tazkiyat al-nafs disebut sebagai sulûk nafs, artinya menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti (sifat malaikat), sesudah membersihkannya dari sifat-sifat tercela dan hewaninya. Dengan kata lain, diri dibersihkan dari kotoran dan kerusakan.
Tazkiyat al-nafs adalah proses Mujâhadah (pelatihan) untuk mencapai al-nafs al-zakiyyah. Proses tazkiyat al-nafs didasarkan kepada beberapa prinsip. Prinsip yang menjadi dasar dari pelatihan terhadap nafs menurut Nurbakhsy, adalah penghancuran cinta terhadap diri sendiri yang didasarkan pada tujuan untuk mencintai yang selain dirinya.
Sedangkan Al-Ghazali, menyebutkan tiga metode penyucian nafs agar dapat menundukkan dan menguasainya yaitu:
1) berusaha menghindari syahwat (kelezatan dunia), atau menguranginya. Karena jika nafs diibaratkan dengan hewan yang keras kepala, maka sikapnya akan menjadi lembut apabila ia kekurangan makanan;
2) melakukan ibadah-ibadah yang berat bagaikan keledai yang membawa beban berat dalam keadaan lapar, maka ia lebih mudah dikuasai dan ditundukkan;
3) meminta pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan merendahkan diri di hadapan-Nya sebaik-baiknya dengan penuh keikhlasan.
Usaha pembersihan nafs juga harus diikuti tiga syarat yaitu: bersyukur dan tidak mengeluh, waspada dan tidak lengah, mengekang dan tidak terbuai oleh nafs. Tazkiyat al-nafs sangat diperlukan agar kita tidak terjerumus ke dalam bagian terendah dari diri kita yakni nafs ammârah. Frager, menyebutkan pentingnya mujâhadat al-nafs sebagai sebuah perjuangan terhadap perilaku-perilaku buruk dan kesesatan yang dibawa nafs.
Tazkiyat al-Nafs melalui Pendidikan
Nafs zakiyah menurut Fakhr al-Razi adalah jiwa yang suci setelah melalui proses tazkiyat al-nafs dengan bertaubat dari perbuatan dosa. Kesucian nafs bersifat maknawi, maka kotornya pun bersifat maknawi. Seseorang akan terpelihara kesucian nafs-nya jika ia konsisten dalam jalan takwa, sebaliknya nafs akan berubah menjadi kotor jika pemiliknya menempuh jalan dosa atau fujûr. Allah berfirman di dalam al-Quran surat al-Syams/91: 70:
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Qs. al-Syams/91: 7-10).
Orang yang mengotori jiwanya dipastikan al-Quran sebagai orang yang rugi. Kata dassa (دسّ) secara bahasa berasal dari دسّ-يدسّ yang bermakna menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu. Berdasarkan ayat tersebut orang yang mengotori jiwanya dengan perbuatan dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebagian mufasir berpendapat bahwa ayat al-Syams/91: 10 berkenaan dengan nafs orang-orang saleh yang melakukan kefasikan, bukan jiwa orang kafir. Karena orang saleh meski melakukan perbuatan dosa, tetapi dilakukannya secara sembunyi-sembunyi karena merasa malu. Sedangkan orang kafir melakukan dosa dengan terang-terangan.
Al-Quran memberikan isyarat bahwa tazkiyat al-nafs dilakukan melalui pendidikan atau pembelajaran sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 129; Alu-Imran/3: 164; al-Jumuah/62: 2.
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (Qs al-Baqarah/2: 129).
Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs Âlu-Imrân/3: 164).
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs al-Jumuah/62: 2).
Wallahu’alam
Oleh: Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Tujuan tasawuf adalah mengetahui segala aspek yang berkaitan dengan nafs, baik nafs yang mulia maupun nafs yang tercela. Kemudian melakukan upaya-upaya pembersihan nafs yang tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia sebagai jalan untuk menuju kepada Allah. Tasawuf memiliki tujuan yang mulia karena berkaitan dengan usaha untuk ma’rifatullâh (mengenal Allah) dan mahabbatullâh (mencintai Allah).
Al-Jurairi menyebutkan tujuan tasawuf adalah membina kebiasaan-kebiasaan baik serta menjaga hati dari keinginan dan hasrat hawa nafsu. Sedangkan Al-Mudarrisi, menyebutkan bahwa tujuan tasawuf adalah zuhd terhadap dunia, mencintai akhirat dan memperbanyak ibadah kepada Allah tanpa meninggalkan sesuatu yang dibolehkan dari kelezatan dunia tetapi dalam batas-batas tertentu. Seorang sâlik (pencari Allah), agar ia dapat mencapai tujuan tasawuf harus melalui tahap-tahap (madârij) tertentu. Tahap-tahap tersebut menurut Ibn Arabi diawali dengan tazkiyat al-nafs
Perjalanan spiritual yang pertama untuk mencapai tujuan tasawuf adalah tazkiyat al-nafs yang diterjemahkan dengan penyucian jiwa. Tazkiyat al-nafs disebut sebagai sulûk nafs, artinya menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti (sifat malaikat), sesudah membersihkannya dari sifat-sifat tercela dan hewaninya. Dengan kata lain, diri dibersihkan dari kotoran dan kerusakan.
Tazkiyat al-nafs adalah proses Mujâhadah (pelatihan) untuk mencapai al-nafs al-zakiyyah. Proses tazkiyat al-nafs didasarkan kepada beberapa prinsip. Prinsip yang menjadi dasar dari pelatihan terhadap nafs menurut Nurbakhsy, adalah penghancuran cinta terhadap diri sendiri yang didasarkan pada tujuan untuk mencintai yang selain dirinya.
Sedangkan Al-Ghazali, menyebutkan tiga metode penyucian nafs agar dapat menundukkan dan menguasainya yaitu:
1) berusaha menghindari syahwat (kelezatan dunia), atau menguranginya. Karena jika nafs diibaratkan dengan hewan yang keras kepala, maka sikapnya akan menjadi lembut apabila ia kekurangan makanan;
2) melakukan ibadah-ibadah yang berat bagaikan keledai yang membawa beban berat dalam keadaan lapar, maka ia lebih mudah dikuasai dan ditundukkan;
3) meminta pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan merendahkan diri di hadapan-Nya sebaik-baiknya dengan penuh keikhlasan.
Usaha pembersihan nafs juga harus diikuti tiga syarat yaitu: bersyukur dan tidak mengeluh, waspada dan tidak lengah, mengekang dan tidak terbuai oleh nafs. Tazkiyat al-nafs sangat diperlukan agar kita tidak terjerumus ke dalam bagian terendah dari diri kita yakni nafs ammârah. Frager, menyebutkan pentingnya mujâhadat al-nafs sebagai sebuah perjuangan terhadap perilaku-perilaku buruk dan kesesatan yang dibawa nafs.
Tazkiyat al-Nafs melalui Pendidikan
Nafs zakiyah menurut Fakhr al-Razi adalah jiwa yang suci setelah melalui proses tazkiyat al-nafs dengan bertaubat dari perbuatan dosa. Kesucian nafs bersifat maknawi, maka kotornya pun bersifat maknawi. Seseorang akan terpelihara kesucian nafs-nya jika ia konsisten dalam jalan takwa, sebaliknya nafs akan berubah menjadi kotor jika pemiliknya menempuh jalan dosa atau fujûr. Allah berfirman di dalam al-Quran surat al-Syams/91: 70:
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Qs. al-Syams/91: 7-10).
Orang yang mengotori jiwanya dipastikan al-Quran sebagai orang yang rugi. Kata dassa (دسّ) secara bahasa berasal dari دسّ-يدسّ yang bermakna menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu. Berdasarkan ayat tersebut orang yang mengotori jiwanya dengan perbuatan dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebagian mufasir berpendapat bahwa ayat al-Syams/91: 10 berkenaan dengan nafs orang-orang saleh yang melakukan kefasikan, bukan jiwa orang kafir. Karena orang saleh meski melakukan perbuatan dosa, tetapi dilakukannya secara sembunyi-sembunyi karena merasa malu. Sedangkan orang kafir melakukan dosa dengan terang-terangan.
Al-Quran memberikan isyarat bahwa tazkiyat al-nafs dilakukan melalui pendidikan atau pembelajaran sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 129; Alu-Imran/3: 164; al-Jumuah/62: 2.
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (Qs al-Baqarah/2: 129).
Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs Âlu-Imrân/3: 164).
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs al-Jumuah/62: 2).
Wallahu’alam
Rabu, 16 Maret 2011
Pendidikan untuk Menerbangkan Potensi Ruhani
Oleh: Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Menurut al-Ghazali salah satu fungsi pendidikan adalah untuk syiar Islam, memelihara kesucian jiwa, dan taqarrab ila Allah. Pendidikan adalah usaha untuk membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan menyucikan hati agar dekat dengan Sang Khaliq yaitu Allah Swt. Pemikiran tersebut didasarkan pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya berupaya memelihara kesucian rohani melaui upaya meningkatkan kemampuan intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-rasa (al-zawqiyah). Caranya dengan berupaya menajamkan qalbu melalui proses tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa)
Al-Quran memberikan isyarat bahwa tazkiyat al-nafs dilakukan melalui pendidikan atau pembelajaran sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 129; Alu-Imran/3: 164; al-Jumuah/62: 2.
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (Qs al-Baqarah/2: 129).
Menilik makna ayat tersebut, maka Pendidikan seharusnya kaya dengan muatan-muatan rohani yang mengarahkan jiwa peserta didik kepada Allah Swt., sehingga melahirkan manusia yang memiliki jiwa yang suci (al-nafs al-zakiyyah). Hanya sayang para guru belum sepenuhnya menyadari arti penting penanaman keimanan yang kuat melalui pendidikan, kebutuhan jiwa yang sehat, dan pentingnya praktik-praktik keagamaan sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kebanyakan para pendidik lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan kurang memperhatikan pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik). Lebih parah lagi ketika nilai-nilai rohani (spiritual), akhlak, dan kesucian jiwa dalam praktik pendidikan di sekolah seringkali hanya dianggap pantas untuk mata pelajaran agama Islam, padahal nilai-nilai spiritual seharusnya terkandung pada semua mata pelajaran. Bukankah tujuan pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pertama adalah menjadikan murid sebagai manusia yang beriman dan bertakwa?
Rasulullah SAW mengajarkan doa agar Allah SWT memberikan jiwa yang takwa dan suci melalui sabdanya,
“Ya Allah berikanlah kepadaku jiwa yang bertakwa dan jiwa yang bersih karena Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikan jiwa dan Engkau adalah pelindung dan penolong jiwa”.
Wallahu ‘alam bisshawab
Oleh: Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Menurut al-Ghazali salah satu fungsi pendidikan adalah untuk syiar Islam, memelihara kesucian jiwa, dan taqarrab ila Allah. Pendidikan adalah usaha untuk membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan menyucikan hati agar dekat dengan Sang Khaliq yaitu Allah Swt. Pemikiran tersebut didasarkan pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya berupaya memelihara kesucian rohani melaui upaya meningkatkan kemampuan intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-rasa (al-zawqiyah). Caranya dengan berupaya menajamkan qalbu melalui proses tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa)
Al-Quran memberikan isyarat bahwa tazkiyat al-nafs dilakukan melalui pendidikan atau pembelajaran sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 129; Alu-Imran/3: 164; al-Jumuah/62: 2.
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (Qs al-Baqarah/2: 129).
Menilik makna ayat tersebut, maka Pendidikan seharusnya kaya dengan muatan-muatan rohani yang mengarahkan jiwa peserta didik kepada Allah Swt., sehingga melahirkan manusia yang memiliki jiwa yang suci (al-nafs al-zakiyyah). Hanya sayang para guru belum sepenuhnya menyadari arti penting penanaman keimanan yang kuat melalui pendidikan, kebutuhan jiwa yang sehat, dan pentingnya praktik-praktik keagamaan sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kebanyakan para pendidik lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan kurang memperhatikan pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik). Lebih parah lagi ketika nilai-nilai rohani (spiritual), akhlak, dan kesucian jiwa dalam praktik pendidikan di sekolah seringkali hanya dianggap pantas untuk mata pelajaran agama Islam, padahal nilai-nilai spiritual seharusnya terkandung pada semua mata pelajaran. Bukankah tujuan pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pertama adalah menjadikan murid sebagai manusia yang beriman dan bertakwa?
Rasulullah SAW mengajarkan doa agar Allah SWT memberikan jiwa yang takwa dan suci melalui sabdanya,
“Ya Allah berikanlah kepadaku jiwa yang bertakwa dan jiwa yang bersih karena Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikan jiwa dan Engkau adalah pelindung dan penolong jiwa”.
Wallahu ‘alam bisshawab
Jumat, 11 Maret 2011
RIHLAH RUHYAH
MENGENAL TRAINING “RIHLAH RUHYAH”
Oleh: Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Rihlah Ruhyah adalah pelatihan ruhani yang dilakukan pertama kali pada tahun 2005 sampai sekarang, telah diselenggarakan di berbagai tempat, dari mulai SD hingga perguruan tinggi di Bandung dan sekitarnya. UPI, UIN, UNPAD adalah tiga PT yang pernah mengundang tim rihlah ruhyah, bahkan pernah ditawari untuk tampil di Cirebon, hanya karena faktor kesibukan dan padatnya jadwal tawaran dari IAIN Cirebon tersebut terpaksa tidak disanggupi. Selain di lembaga pendidikan formal, pelatihan yang bernama rihlah ruhyah ini juga seringkali menjadi pilihan untuk disampaikan di masjid-masjid, majelis taklim, keluarga besar, perusahaan, dan alumni haji.
Sebagai sebuah pelatihan yang sarat dengan aspek ruhani dan sentuhan emosi, rihlah ruhyah terkadang disalah pahami (terutama oleh orang yang tidak memahami kajian qalb atau ruh) sebagai pelatihan sia-sia yang hanya membuat peserta menangis kemudian histeris hingga ada yang “kesurupan”. Tetapi kenyataan menunjukkan lain, dari 16.000 orang yang pernah mengikuti pelatihan ini rata-rata mendapatkan pengalaman dan peristiwa yang berbeda dan sulit dilupakan dalam kehidupan mereka. Terlebih hal itu sudah dibuktikan lewat penelitian yang mengangkat kajian rihlah ruhyah baik skripsi di UIN SGD Bandung dan menjadi bahan tesis serta disertasi doktoral. Selain itu, memang gagasan rihlah ruhyah tidak begitu saja dibuat tetapi didasari oleh alasan-alasan keilmuan yang logis dan empiris selain tentu saja berdasarkan kajian dalil (Quran-Hadits) yang kuat.
Sederhananya, rihlah ruhyah dapat diartikan sebagai perjalan ruhani, sebuah upaya untuk meningkatkan kecerdasan ruhani. Melakukan muhasabah (evaluasi diri) dan tafakkur sebagai media penting dalam upaya pencapai jiwa yang suci (al-nafs al-zakiyah) atau jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Inilah tahap takhalli (pengosongan diri) yang harus ditindaklanjuti dengan tahap penghiasan diri dengan ketaatan dan amal shaleh (tahalli). Pelatihan rihlah ruhyah menawarkan sesuatu yang berbeda, dengan bantuan multimedia materi-materi seperti zikir, ma’rifatullah (mengenal Allah), ma’rifat al-insan (mengenal manusia), zikr al-maut (mengingat mati), dan birr al-walidain (berbuat baik kepada orang tua), dikemas sedemikian rupa sehingga kaya dengan sentuhan ruhani dan sentuhan afeksi.
Terakhir, walaupun rihlah ruhyah ini sudah sering dilakukan di banyak tempat, namun karena sedikitnya bahan kajian dan sumber daya manusia untuk pengembangan, maka masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam pelatihan rihlah ruhyah ini. Tak ada gading yang tak retak, maka pantaslah jika pengakuan tentang kekurangan rihlah ruhyah ini harus diakui. Hanya kepada Allah-lah diserahkan semua urusan dari kita, manusia yang bodoh, lemah dan fakir ini.
Oleh: Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Rihlah Ruhyah adalah pelatihan ruhani yang dilakukan pertama kali pada tahun 2005 sampai sekarang, telah diselenggarakan di berbagai tempat, dari mulai SD hingga perguruan tinggi di Bandung dan sekitarnya. UPI, UIN, UNPAD adalah tiga PT yang pernah mengundang tim rihlah ruhyah, bahkan pernah ditawari untuk tampil di Cirebon, hanya karena faktor kesibukan dan padatnya jadwal tawaran dari IAIN Cirebon tersebut terpaksa tidak disanggupi. Selain di lembaga pendidikan formal, pelatihan yang bernama rihlah ruhyah ini juga seringkali menjadi pilihan untuk disampaikan di masjid-masjid, majelis taklim, keluarga besar, perusahaan, dan alumni haji.
Sebagai sebuah pelatihan yang sarat dengan aspek ruhani dan sentuhan emosi, rihlah ruhyah terkadang disalah pahami (terutama oleh orang yang tidak memahami kajian qalb atau ruh) sebagai pelatihan sia-sia yang hanya membuat peserta menangis kemudian histeris hingga ada yang “kesurupan”. Tetapi kenyataan menunjukkan lain, dari 16.000 orang yang pernah mengikuti pelatihan ini rata-rata mendapatkan pengalaman dan peristiwa yang berbeda dan sulit dilupakan dalam kehidupan mereka. Terlebih hal itu sudah dibuktikan lewat penelitian yang mengangkat kajian rihlah ruhyah baik skripsi di UIN SGD Bandung dan menjadi bahan tesis serta disertasi doktoral. Selain itu, memang gagasan rihlah ruhyah tidak begitu saja dibuat tetapi didasari oleh alasan-alasan keilmuan yang logis dan empiris selain tentu saja berdasarkan kajian dalil (Quran-Hadits) yang kuat.
Sederhananya, rihlah ruhyah dapat diartikan sebagai perjalan ruhani, sebuah upaya untuk meningkatkan kecerdasan ruhani. Melakukan muhasabah (evaluasi diri) dan tafakkur sebagai media penting dalam upaya pencapai jiwa yang suci (al-nafs al-zakiyah) atau jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Inilah tahap takhalli (pengosongan diri) yang harus ditindaklanjuti dengan tahap penghiasan diri dengan ketaatan dan amal shaleh (tahalli). Pelatihan rihlah ruhyah menawarkan sesuatu yang berbeda, dengan bantuan multimedia materi-materi seperti zikir, ma’rifatullah (mengenal Allah), ma’rifat al-insan (mengenal manusia), zikr al-maut (mengingat mati), dan birr al-walidain (berbuat baik kepada orang tua), dikemas sedemikian rupa sehingga kaya dengan sentuhan ruhani dan sentuhan afeksi.
Terakhir, walaupun rihlah ruhyah ini sudah sering dilakukan di banyak tempat, namun karena sedikitnya bahan kajian dan sumber daya manusia untuk pengembangan, maka masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam pelatihan rihlah ruhyah ini. Tak ada gading yang tak retak, maka pantaslah jika pengakuan tentang kekurangan rihlah ruhyah ini harus diakui. Hanya kepada Allah-lah diserahkan semua urusan dari kita, manusia yang bodoh, lemah dan fakir ini.
BIODATA
Nama Lengkap : Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 13 Juli 1973
Pekerjaan : Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Alamat : Bumi Cipacing Permai Blok I. 14 Jatinangor
Status : Menikah
Pendidikan Formal
1. SDN Tilil 2 Bandung, Lulus Tahun 1985
2. SMPN 7 Bandung, Lulus Tahun 1988
3. SMAN 14 Bandung, Lulus Tahun 1991
4. Sarjana (S-1) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Bandung Tahun 1996.
5. Magister (S-2) Program Studi Pendidikan Umum UPI Bandung Tahun 2005.
6. Doktor (S-3) Program Studi Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2009.
Pendidikan Nonformal
1. Madrasah Diniyah Wustha Al-Ahkam Lulus Tahun 1989
2. Madrasah Diniyah ‘Ulya Al-Ahkam Lulus tahun 1991
Riwayat Pekerjaan
1. Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2010-sekarang).
2. Dosen STKIP Al-Bana Bekasi (1996-1998).
3. Dosen Pascasarjana Manajemen Pendidikan Sekolah Tinggi Manajemen (STM) IMNI Jakarta (2009-2010)
4. Guru SMA PGII 1 Bandung (1997-sekarang)
5. Guru SMPN 1 Jatigede Sumedang (1998-2002)
6. Guru SMPN 1 Cimanggung (2002-2009).
Pengalaman Berorganisasi
1. Bidang Diklat BKPRMI Kotamadya Bandung (1995-1998)
2. Bidang Organisasi dan Keanggotaan ADPISI (Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam) Kota Bandung (2007-2011).
3. Pembina FIRDAUS (Forum Silaturahmi Dakwah untuk Sekolah) Bandung (2000-sekarang).
4. Bendahara RW XVII Bumi Cipacing Permai (2006-2010)
5. Ketua DKM Akhlaqul Muhajirin Bumi Cipacing Permai (2008-2011)
6. FIRDAUS (Forum Siilaturahmi dan Dakwah untuk Sekolah)
Kursus/Pelatihan dan Aktivitas Lain
1. 2001: Computer Database and Internet Training
2. 2004: TOEFL Course
3. 2004: In House Training Kurikulum Berbasis Kompetensi
4. 2005-Sekarang: Trainer Rihlah Ruhiyah ( Pelatihan Spiritual)
5. Pengisi ceramah, khutbah, dan Majelis Taklim di wilayah Kota Bandung, Kab. Bandung, dan Sumedang.
Nama Lengkap : Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 13 Juli 1973
Pekerjaan : Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Alamat : Bumi Cipacing Permai Blok I. 14 Jatinangor
Status : Menikah
Pendidikan Formal
1. SDN Tilil 2 Bandung, Lulus Tahun 1985
2. SMPN 7 Bandung, Lulus Tahun 1988
3. SMAN 14 Bandung, Lulus Tahun 1991
4. Sarjana (S-1) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Bandung Tahun 1996.
5. Magister (S-2) Program Studi Pendidikan Umum UPI Bandung Tahun 2005.
6. Doktor (S-3) Program Studi Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2009.
Pendidikan Nonformal
1. Madrasah Diniyah Wustha Al-Ahkam Lulus Tahun 1989
2. Madrasah Diniyah ‘Ulya Al-Ahkam Lulus tahun 1991
Riwayat Pekerjaan
1. Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2010-sekarang).
2. Dosen STKIP Al-Bana Bekasi (1996-1998).
3. Dosen Pascasarjana Manajemen Pendidikan Sekolah Tinggi Manajemen (STM) IMNI Jakarta (2009-2010)
4. Guru SMA PGII 1 Bandung (1997-sekarang)
5. Guru SMPN 1 Jatigede Sumedang (1998-2002)
6. Guru SMPN 1 Cimanggung (2002-2009).
Pengalaman Berorganisasi
1. Bidang Diklat BKPRMI Kotamadya Bandung (1995-1998)
2. Bidang Organisasi dan Keanggotaan ADPISI (Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam) Kota Bandung (2007-2011).
3. Pembina FIRDAUS (Forum Silaturahmi Dakwah untuk Sekolah) Bandung (2000-sekarang).
4. Bendahara RW XVII Bumi Cipacing Permai (2006-2010)
5. Ketua DKM Akhlaqul Muhajirin Bumi Cipacing Permai (2008-2011)
6. FIRDAUS (Forum Siilaturahmi dan Dakwah untuk Sekolah)
Kursus/Pelatihan dan Aktivitas Lain
1. 2001: Computer Database and Internet Training
2. 2004: TOEFL Course
3. 2004: In House Training Kurikulum Berbasis Kompetensi
4. 2005-Sekarang: Trainer Rihlah Ruhiyah ( Pelatihan Spiritual)
5. Pengisi ceramah, khutbah, dan Majelis Taklim di wilayah Kota Bandung, Kab. Bandung, dan Sumedang.
Langganan:
Postingan (Atom)