NILAI DALAM PANDANGAN ISLAM
Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Teori nilai di dalam Islam dikenal dengan istilah akhlak yang semakna dengan etika. Perkataan akhlak sendiri berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata “khulukun” ( خلق). Secara etimologi akhlak diartikan sebagai budi pekerti, tingkah laku atau tabiat.
Walaupun akhlak sering dimaknai dengan etika atau etika Islam, tetapi akhlak memiliki karakteristik yang berbeda dengan etika. Kriteria tersebut adalah seperti tecantum di bawah ini.
(a) Mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
(b) Sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.
(c) Bersifat universal dan konperhensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
(d) Memiliki ajaran-ajaran yang praktis dan tepat, sesuai dengan fitrah dan akal manusia (manusiawi).
(e) Mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah menuju kepada keridhoannya.
1. Sistem Nilai Islam
Sistem nilai yang dijadikan kerangka acuan untuk menjadi rujukan cara berperilaku lahiriah dan rohaniah manusia adalah nilai yang diajarkan oleh Islam sebagai wahyu Allah SWt. Nilai dan moralitas Islam adalah satu kebulatan nilai yang mengandung aspek normatif (kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal perbuatan).
Nilai-nilai dalam Islam mengandung dua kategori arti. Pertama, dilihat dari segi normatif yaitu pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batal, diridhai dan dikutuk oleh Allah SWT. Kedua, dilihat dari segi operatif adalah fardhu, sunnat, mubah, makruh, dan haram.
Nilai-nilai yang tercakup di dalam sistem nilai Islam merupakan komponen atau sub sistem dari:
(a) Sistem nilai kultural yang senada dan senafas dengan Islam.
(b) Sistem nilai sosial yang memiliki mekanisme gerak yang berorientasi kepada kehidupan sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat.
(c) Sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang didorong oleh fungsi-fungsi psikologisnya untuk berprilaku secara terkontrol oleh nilai yang menjadi sumber rujukannya, yaitu Islam.
(d) Sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia) yang mengandung inter-relasi dengan lainnya. Tingkah laku ini timbul karena adanya tuntutan dari kebutuhan mempertahankan hidup yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai motivatif dalam pribadinya (Arifin, 1994: 141).
2. Peranan Aql, Nafs, dan Qolb
Berbicara tentang akhlak, tidak bisa dilepaskan dari permasalahan akal, nafs, dan qolbu. Ketiga hal tersebut adalah perangkat yang membentuk perangai atau tabiat manusia. Walaupun demikian Abdul fattah Jalal (1988), tidak sepakat dengan aql, nafs, dan qolb, tetapi perangkat tabiat manusia menurutnya adalah jism (tubuh), aql, qolb, dan ruh.
Chittick (2001: 56), menggambarkan keterkaitan antara nafs, hati, akal, dan ruh yang memperlihatkan bahwa masing-masing istilah dalam penerapannya seringkali jumbuh, dan menunjuk kepada keserbaragaman tingkat realitas.
Kita, barangkali dapat mengatakan bahwa ruh memiliki wilayah yang paling luas mencakup keseluruhan realitas dalam (bathin) manusia; “akal” berada di bawah pemahaman ruh; dan kata “hati” menggarisbawahi kesadaran (yang bersumber dari ruh), khususnya kesadaran Tuhan. Sedangkan kata “nafs” menyeret jauh dari cahaya kesadaran ruh yang berasal dari perintah Tuhan (pengetahuan dan kesadaran). Seperti halnya jasad, nafs tidak dapat menangkap kilauan cahaya yang bersinar dari balik kegelapannya.
Keterkaitan antara ruh, qalb, dan nafs juga dijelaskan oleh Djawad Dahlan (1999) sebagai berikut.
Di dalam nafs ada qolbu -sebagai sentral ruh- yang berisi sifat-sifat Allah, ilham moralitas, serta bibit iman, juga ada hawa yang merupakan dorongan-dorongan hasrat kebinatangan. Maka nafs harus dikendalikan jangan sampai didominasi oleh hawa (Qs: Al-Naziat: 40). Adapun ruh pada manusia merupakan kemampuan memahami pesan/ajaran/konsep yang secara ringkas disebut kesadaran.