Tazkiyat al-Nafs dalam Persfektif Tasawuf
Oleh: Dr. Mohamad Erihadiana, M.Pd
Tujuan tasawuf adalah mengetahui segala aspek yang berkaitan dengan nafs, baik nafs yang mulia maupun nafs yang tercela. Kemudian melakukan upaya-upaya pembersihan nafs yang tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia sebagai jalan untuk menuju kepada Allah. Tasawuf memiliki tujuan yang mulia karena berkaitan dengan usaha untuk ma’rifatullâh (mengenal Allah) dan mahabbatullâh (mencintai Allah).
Al-Jurairi menyebutkan tujuan tasawuf adalah membina kebiasaan-kebiasaan baik serta menjaga hati dari keinginan dan hasrat hawa nafsu. Sedangkan Al-Mudarrisi, menyebutkan bahwa tujuan tasawuf adalah zuhd terhadap dunia, mencintai akhirat dan memperbanyak ibadah kepada Allah tanpa meninggalkan sesuatu yang dibolehkan dari kelezatan dunia tetapi dalam batas-batas tertentu. Seorang sâlik (pencari Allah), agar ia dapat mencapai tujuan tasawuf harus melalui tahap-tahap (madârij) tertentu. Tahap-tahap tersebut menurut Ibn Arabi diawali dengan tazkiyat al-nafs
Perjalanan spiritual yang pertama untuk mencapai tujuan tasawuf adalah tazkiyat al-nafs yang diterjemahkan dengan penyucian jiwa. Tazkiyat al-nafs disebut sebagai sulûk nafs, artinya menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti (sifat malaikat), sesudah membersihkannya dari sifat-sifat tercela dan hewaninya. Dengan kata lain, diri dibersihkan dari kotoran dan kerusakan.
Tazkiyat al-nafs adalah proses Mujâhadah (pelatihan) untuk mencapai al-nafs al-zakiyyah. Proses tazkiyat al-nafs didasarkan kepada beberapa prinsip. Prinsip yang menjadi dasar dari pelatihan terhadap nafs menurut Nurbakhsy, adalah penghancuran cinta terhadap diri sendiri yang didasarkan pada tujuan untuk mencintai yang selain dirinya.
Sedangkan Al-Ghazali, menyebutkan tiga metode penyucian nafs agar dapat menundukkan dan menguasainya yaitu:
1) berusaha menghindari syahwat (kelezatan dunia), atau menguranginya. Karena jika nafs diibaratkan dengan hewan yang keras kepala, maka sikapnya akan menjadi lembut apabila ia kekurangan makanan;
2) melakukan ibadah-ibadah yang berat bagaikan keledai yang membawa beban berat dalam keadaan lapar, maka ia lebih mudah dikuasai dan ditundukkan;
3) meminta pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan merendahkan diri di hadapan-Nya sebaik-baiknya dengan penuh keikhlasan.
Usaha pembersihan nafs juga harus diikuti tiga syarat yaitu: bersyukur dan tidak mengeluh, waspada dan tidak lengah, mengekang dan tidak terbuai oleh nafs. Tazkiyat al-nafs sangat diperlukan agar kita tidak terjerumus ke dalam bagian terendah dari diri kita yakni nafs ammârah. Frager, menyebutkan pentingnya mujâhadat al-nafs sebagai sebuah perjuangan terhadap perilaku-perilaku buruk dan kesesatan yang dibawa nafs.
Tazkiyat al-Nafs melalui Pendidikan
Nafs zakiyah menurut Fakhr al-Razi adalah jiwa yang suci setelah melalui proses tazkiyat al-nafs dengan bertaubat dari perbuatan dosa. Kesucian nafs bersifat maknawi, maka kotornya pun bersifat maknawi. Seseorang akan terpelihara kesucian nafs-nya jika ia konsisten dalam jalan takwa, sebaliknya nafs akan berubah menjadi kotor jika pemiliknya menempuh jalan dosa atau fujûr. Allah berfirman di dalam al-Quran surat al-Syams/91: 70:
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Qs. al-Syams/91: 7-10).
Orang yang mengotori jiwanya dipastikan al-Quran sebagai orang yang rugi. Kata dassa (دسّ) secara bahasa berasal dari دسّ-يدسّ yang bermakna menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu. Berdasarkan ayat tersebut orang yang mengotori jiwanya dengan perbuatan dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebagian mufasir berpendapat bahwa ayat al-Syams/91: 10 berkenaan dengan nafs orang-orang saleh yang melakukan kefasikan, bukan jiwa orang kafir. Karena orang saleh meski melakukan perbuatan dosa, tetapi dilakukannya secara sembunyi-sembunyi karena merasa malu. Sedangkan orang kafir melakukan dosa dengan terang-terangan.
Al-Quran memberikan isyarat bahwa tazkiyat al-nafs dilakukan melalui pendidikan atau pembelajaran sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 129; Alu-Imran/3: 164; al-Jumuah/62: 2.
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (Qs al-Baqarah/2: 129).
Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs Âlu-Imrân/3: 164).
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs al-Jumuah/62: 2).
Wallahu’alam